Beijing (ANTARA News) - Otoritas China sedang mengkaji cara-cara baru untuk mengendalikan Internet menurut lansiran media pemerintah yang mengutip pernyataan para ahli pada Senin, setelah beredar laporan bahwa perusahaan milik negara akan diminta membeli saham situs-situs pemutaran video.

Negara itu membatasi akses ke berbagai situs asing termasuk Google, Facebook dan Twitter dengan kontrol jaringan luas yang dijuluki Great Firewall of China, dan di bawah Presiden Xi Jinping negara itu menguatkan cengkeramannya terhadap media penyiaran, media cetak dan daring.

Konten yang dianggap sensitif secara politik, memuat kekerasan atau "tidak sehat" secara moral biasanya diblokir.

Peraturan baru yang sedang dikaji oleh otoritas sensor Tiongkok akan memungkinkan badan usaha milik negara tertentu membeli "saham-saham manajemen khusus" hingga 10 persen di situs pemutaran video daring populer di negara tersebut, memberi mereka hak untuk mengawasi produksi dan pengambilan keputusan menurut laporan majalah bisnis berpengaruh Caixin.

Laporan berbahasa China itu kemudian ditarik dari situs Caixin sendiri, meskipun naskahnya sudah diunggah ulang secara luas di berbagai tempat.

Situs video seperti Youku Tudou, yang tahun lalu diakuisisi raksasa teknologi Alibaba senilai 4,8 miliar dolar AS (sekitar Rp65,1 triliun), dan iQiyi.com milik Baidu juga bisa terpengaruh, dengan pengawasan lebih ketat terhadap konten dan potensi modifikasi di rumah produksi.

Langkah tersebut menunjukkan bahwa pemerintah berharap bisa memperkuat cengkeramannya terhadap berbagai situs, khususnya yang dijalankan swasta, tempat mereka hanya memiliki "sedikit pengaruh" di masa lalu, kata surat kabar pemerintah Global Times pada Senin, mengutip Xiang Ligang, CEO portal industri telekomunikasi cctime.com.

"Pemerintah tidak bisa menghukum (situs) setiap hari atau menutup (sebuah situs) karena itu akan memicu serangan balasan," jelasnya.

Koran itu mengutip profesor hukum Zhu Wei yang menambahkan bahwa mekanisme baru akan menjadi kebijakan preventif yang bisa memblokir konten yang dianggap tidak menyenangkan sebelum dikeluarkan, tidak seperti regulasi sekarang yang hanya menghukum pelaku kejahatan setelah kejadian.

Daftar awal perusahaan negara yang akan ambil bagian dalam usaha itu di antaranya lembaga penyiaran China National Radio da China Radio International menurut warta Global Times.

Badan Pers, Publikasi, Radio, Film dan Televisi Negara (State Administration of Press, Publication, Radio, Film and Television/SAPPRFT) bertemu dengan pengelola laman video untuk membahas rencana tersebut, dan mengusulkan perjanjian tak mengikat antara mereka dengan perusahaan negara secepat-cepatnya 10 Juni menurut laporan Bloomberg News.

Beberapa pengelola situs yang menghadiri pertemuan itu menyatakan keberatan, tapi masih belum jelas apa konsekuensinya jika tidak berpartisipasi.

Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2016