Jakarta (ANTARA News) - Pertemuan tripartit antara Depkeu, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan DPR akan digelar untuk membahas nasib 7 obligor penandatangan perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS). "Mereka berjanji akan mengundang kami beserta pemerintah untuk dialog lebih detil," kata Anggota BPK, Hasan Bisri, di Jakarta, Rabu. Menurutnya, jika BPK harus memberikan paparan lebih detil tentang hasil penilaian BPK di depan pemerintah dan DPR, pihaknya akan berada dalam konteks sebagai narasumber atau pemberi "second opinion" dan bukan sebagai pengambil keputusan. "Kalau nanti (dalam pertemuan-red) DPR mau memutuskan, maka BPK akan keluar. Kami hanya memberi pandangan. Pemerintah nantilah dengan DPR yang memutuskan," katanya. Dia mengutarakan pendapatnya bahwa pemerintah harus menegaskan kembali keinginan mereka, apakah ingin melalui mekanisme "out of court settlement" seperti keinginan awal atau melalui pengadilan. Dan jika memutuskan untuk memakai mekanisme "out of court settlement" itu, maka harus diputuskan apakah pemerintah akan menggunakan kalkulasi dalam Akta Perjanjian Utang (APU) awal yang menghitung denda dan bunga atau APU reformulasi. "Jadi kalau BPK sebatas menyajikan bahwa kalau mau menggunakan jumlah kewajiban pemegang saham (JKPS) awal angkanya ini, dan kalau JKPS reformulasi angkanya ini," katanya. Dalam reviu dan verifikasi BPK dengan menggunakan asumsi tim PKPS Depkeu, maka JKPS APU awal adalah Rp9,368 triliun untuk 7 obligor, sedangkan JKPS APU reformulasi adalah Rp2,54 triliun. BPK juga menemukan adanya perbedaan JKPS APU reformulasi yang digunakan Depkeu dan yang ditelusuri tim PKPS BPK, sebesar Rp243,665 miliar. Selisih tersebut, menurutnya, karena ada deposito pihak terkait dan aset yang telah diserahkan pemegang saham kepada tim pemberesan BPPN dan telah dinilai oleh penilai independen belum diperhitungkan oleh Depkeu. Sedangkan dokumen kepemilikan aset tersebut telah berada di kustodi Depkeu. Dia menjelaskan, Depkeu belum menghitung penyerahan aset milik Atang Latief berupa tanah seluas 858.408 meter persegi di Cikupa Tangerang senilai Rp15,693 miliar dan Plaza Shinta di Tangerang senilai Rp19,283 miliar. Kemudian, katanya, ada aset tanah milik James dan Adisaputra Januardy seluas 5.004.420 meter persegi di Jasinga Bogor senilai Rp87,3 miliar yang belum dinilai. Lalu, ungkapnya, ada aset 3 bidang tanah milik Ulung Bursah seluas 1.077.994 meter persegi di Duren Sawit, Lampung, dan Banten senilai Rp30,674 miliar yang juga belum diperhitungkan. Dan, katanya, Depkeu belum menghitung penyerahan aset Marimutu Sinivasan berupa 16 ruko di Jabotabek, Bandung, Surabaya, Lampung dan Banten senilai Rp16,856 miliar, serta "set-off" deposito atas nama M. Sinivasan di Bank Putera Multikarsa. Menurutnya, seluruh aset tersebut akan dicek kembali status dan kondisinya, sebelum akhirnya dilakukan "legal transfer" aset tersebut ke pemerintah. Ketujuh obligor itu adalah Atang Latief (Bank Indonesia Raya), Ulung Bursah (Bank Lautan Berlian), Omar Putihrai (Bank Tamara), Lidia Muchtar (Bank Tamara), Marimutu Sinivasan (Bank Putera Multikarsa), Adisaputra dan James Januardy (Bank Namura), dan Agus Anwar (Bank Pelita/Istimarat). (*)

Copyright © ANTARA 2007