Jakarta (ANTARA News) - Kontroversi kini menyelimuti langit Amerika Serikat (AS), karena pemerintahan Presiden George Walker Bush dianggap memberikan "pil penenang" ketika masyarakat setempat mendaulat untuk merespons isu lingkungan hidup global, salah satunya perubahan iklim, dengan mengedepankan sikap terbuka, jujur, dan demokratis. Sejumlah perusahaan minyak berskala besar, masing-masing ExxonMobil dan "Beyond Petroleum" (BP), kini mendulang kecaman dari publik karena mereka memberikan sejumlah dana penelitian kepada universitas sohor seperti Stanford dan Berkeley. Bermaksud tebar uang, berbuntut kontroversi. Dengan meminjam jargon "greenwash", perusahaan-perusahaan minyak itu ingin mendongkrak citra di masyarakat AS, demikian harian Guardian (20/3). Para aktivis lingkungan hidup pun geram, kemudian memrotes kesepakatan salah satu dari dua universitas itu dengan BP mengenai pemberian dana penelitian senilai 500 juta dolar AS. Para pegiat lingkungan juga menaruh perhatian pada hubungan Stanford dengan ExxonMobil yang telah berlangsung sejak tahun 2002 seputar pemberian bantuan sebanyak 100 juta dolar AS selama 10 tahun untuk membiayai penelitian. Selain perusahaan minyak, dana sponsor menggelontor dari perusahaan-perusahaan seperti General Electric, Schlumberger dan Toyota. Mereka berharap universitas dapat melakukan penelitian mengenai perubahan iklim global dan energi. Keberatan aktivis lingkungan terletak pada sikap perusahaan yang dianggap cenderung memonopoli hasil riset dalam jangka waktu lima tahun, sementara perguruan tinggi kurang memeroleh hasil sepadan. Pameo lama berlaku, serigala berbulu domba. "Kami bangga telah terlibat dalam proyek Global Climate and Energy Project bersama dengan Universitas Stanford. Ini berkaitan dengan keprihatinan perusahaan pada isu lingkungan global, utamanya emisi gas rumah kaca," kata seorang pejabat humas ExxonMobil Gantt Walton. Perusahaannya tidak mengontrol penelitian yang dilakukan Stanford, katanya. "Kami akan menaati komitmen dalam perjanjian bersama itu". Kontroversi ini mengundang sejumlah komentar dari pakar. Pakar bidang kebijaksanaan publik dari Universitas Berkeley, Robert Reich mengusulkan kepada publik agar mengawasi reputasi universitas. "BP jelas-jelas ingin mencari tempat untuk membersihkan diri dan mencitrakan dirinya sebagai perusahaan yang berwawasan lingkungan. Berkeley tentu bukan tempatnya," katanya. Selain melontarkan kritik pada perusahaan yang "berbulu domba", publik AS menyoroti langkah pemerintahan Bush ketika merespons isu perubahan iklim global. Pendapat politisi dari gerbong pemerintahan Bush kerap berseberangan dengan opini para pakar lingkungan, kata kolumnis Suzanne Goldenberg dan James Randerson di Washington Sikap mengulur waktu, menunda penjelasan dan menutup-nutupi kenyataan sesungguhnya dijalankan oleh politisi Bush. Mereka dianggap memberikan pil penenang kepada publik sementara masalah lingkungan global tampil sebagai salah satu dagangan dalam kampanye presiden. "Dampak dari kebijakan pemerintahan yang sekarang dengan menutup-nutupi kenyataan yang sebenarnya mengenai perubahan iklim berakibat bahwa keprihatinan masyarakat terhadap masalah lingkungan jauh berkurang," kata ketua Goddard Institute for Space Science di New York, James Hansen. Kisruh bertambah ketika Presiden Bush mengangkat orang dekatnya yang nota bene mantan pelobi di bidang industri minyak Philip Cooney untuk menjabat salah seorang ketua di lembaga independen "Council on Environmental Quality". Penunjukan beraroma politis ini mengundang kritik dari publik. Paradoks juga melekat pada diri Cooney. Di satu sisi, ia mengatakan perubahan iklim memengaruhi kesehatan manusia dan kualitas lingkungan. Di lain sisi, ia memberikan order proyek lingkungan kepada perusahaan tempat ia bekerja, American Petroleum Institute. Tidak satunya kata dengan perbuatan. Gedung Putih seakan menutup mata. "Kami sudah memeroleh memo persetujuan dari mereka (Gedung Putih)," kata Cooney. Hansen kemudian angkat bicara. Ia menyebut bahwa pengawasan Gedung Putih cenderung normatif. "Siaran-siaran pers mengenai Gedung Putih nyatanya diedit," katanya. Ini disebutnya sebagai politisisasi sains yang menjurus pada aksi propaganda. Aksi politik pil penenang gaya pemerintahan Bush agaknya sudah diamati jauh hari oleh mantan Wakil Presiden AS Al Gore. Sebagai seorang pengamat lingkungan, Al Gore menyebut bahwa mereka yang coba menutup-nutupi kenyataan sesungguhnya mengenai perubahan iklim tidak lain melakukan aksi penenangan kepada publik. Upaya meninabobokan masyarakat dengan memberi informasi yang kurang benar mengenai ancaman dari dampak perubahan iklim menunjukkan corak berpikir disfungsional, kata Gore dalam Bukunya "Earth in The Balance: Ecology and Human Spirit". Dalam perjalanan sejarah dunia, corak berpikir disfungsional melahirkan totaliterisme dan konsumtivisme. Totaliterisme meruntuhkan dan meleburkan individu kepada "negara". Konsumtivisme menyeret individu ke dalam keinginan yang tidak terkendali. Manusia ditakar dan direduksi hanya dari pola konsumsinya. "Cara berpikir yang aneh dan destruktif tentang hubungan manusia dengan alam ini merupakan musuh kita sebenarnya. Perjuangan menyelamatkan lingkungan hidup global merupakan perang dengan diri kita sendiri. Kita adalah musuhnya," kata Gore. Siapa memainkan politik pil penenang sebenarnya, sementara paradoks membayangi elit politik Gedung Putih dan pengusaha AS? Harian New York Times (20/3) menurunkan artikel mengenai sikap antusias Angola ketika menghadiri sidang organisasi pengekspor minyak dunia (OPEC) di Jenewa. Menteri Perminyakan Angola Desiderio da Costa menyatakan puas atas sambutan hangat dari sesama anggota OPEC. Angola diterima masuk menjadi anggota OPEC. Di satu sisi, dari kacamata Barat, Angola dipandang sebelah mata karena dianggap sebagai negara korup dan miskin. Di lain sisi, minyak negara ini dijarah oleh perusahaan-perusahaan minyak AS masing-masing Exxon Mobil, Chevron, dan BP. Negara yang memiliki ibukota Luanda ini justru tampil sebagai negara pengekspor minyak terbesar bagi AS, selain Nigeria. Negara-negara Afrika menjadi urat nadi bagi keamanan cadangan energi AS. "Angola sekarang berada dalam fase pertumbuhan," kata direktur eksekutif perusahaan minyak Prancis Total, Christophe de Margerie. "Mereka butuh untuk berkembang. Mereka butuh uang," katanya. Pameonya, ada minyak masih disayang, tidak ada minyak anda ditendang. Angola menjalani perang saudara selama 27 tahun yang memecah-belah warganya menjadi dua kubu, Barat dan Soviet. Ketika perang berakhir pada tahun 2002, jumlah korban jiwa mencapai 500.000 orang. Belum lagi kerusakan infrastruktur. Pemilihan umum dijadwalkan berlangsung pada 2009. Menurut Bank Dunia, pendapatan Angola dari ekspor minyak mencapai 30 juta dolar AS pada tahun lalu. Namun, hampir 70 persen penduduknya berada di bawah garis kemiskinan. Pendapatan harian mereka rata-rata 2 dolar AS per hari. Fasilitas kesehatan dan pengairan minim. Padahal, Angola memiliki cadangan minyak sekitar 11,4 trilyun barel, kata konsultan energi di Edinburgh, Wood Mackenzie. Jumlah ini hampir sama dengan cadangan minyak yang dipunyai oleh Brazil dan Algeria. Bagaimana ketimpangan bidang lingkungan dan ekonomi global ini dapat direspons? Sosiolog Anthony Giddens menulis dalam harian Guardian, isu perubahan iklim akan bermakna manakala didekati dari aspek ekonomi dengan mengenakan pajak karbon dan menerapkan efisiensi energi. "Lingkungan hendaknya tidak dipandang sebagai barang yang gratis. Diperlukan keterlibatan antara pemerintah dengan warga masyarakat," kata Giddens yang kini menjadi salah seorang anggota parlemen Inggeris. Ia juga menyoroti bahwa pembatasan polusi kendaraan bermotor justru memunculkan masalah politis lebih jauh. Pemberian insentif pajak diharapkan menjadi faktor menentukan dalam mengubah gaya hidup masyarakat, perilaku warga dan perusahaan-perusahaan. "Perubahan gaya hidup menjadi sentral dalam arena perpolitikan dewasa ini, tidak melulu perubahan iklim. Kesehatan manusia modern telah menjadi isu yang mengglobal. Pemberlakuan insentif fiskal dan pengenaan sanksi yang dibarengi upaya pendidikan akan mendorong masyarakat untuk mengubah pola hidupnya," katanya. Politik "pil penenang" yang dipraktikkan oleh sejumlah perusahaan AS dan elit pemerintah Bush memuat paradoks dalam dirinya. Akal-akalan tersebut hanya dapat dipecahkan dengan mempraktekkan langkah-langkah di bidang ekonomi. Negara-negara berkembang di dunia, antara lain Angola dan Indonesia, hendaknya tidak terperangkap dalam pusaran bak rolet di kasino yang diputar oleh negara-negara maju. (*)

Oleh Oleh A.A. Ariwibowo
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007