Kuala Lumpur (ANTARA News) - Tenaga kerja Indonesia (TKI) yang terancam hukuman mati di Malaysia mencapai 53 orang, bukan 16 orang sebagaimana dikemukakan oleh INFID (International NGO Forum on Indonesia Development) dan Migran Care belum lama ini. "Ada 53 TKI terancam hukuman mati di Malaysia. Data ini kami dapat dari Kejaksaan Malaysia tiga hari lalu. Jadi bukannya 16 orang seperti dikemukakan oleh INFID dan Migrant Care dalam sidang Dewan Hak Asasi Manusia PBB 20 Maret 2007," kata Direktur Indonesian Sociology Research, Khairudin Harahap, di Kuala Lumpur, Kamis. Sebagian besar TKI itu kini ditahan di penjara Sungai Buluh Selangor, salah satu negara bagian Malaysia. Ada yang menunggu eksekusi, ada yang sedang menjalani proses pengadilan dengan tuntutan jaksa setempat hukuman mati. Khairudin mencari dan mendapat data itu dari Kejaksaan Malaysia (Kantor Peguam Malaysia) karena ada rombongan AMPI (Angkatan Muda Pembangunan Indonesia) ke Kuala Lumpur dalam rangka membela TKI yang terancam hukuman mati. Setelah meminta informasi itu, ternyata ada 53 orang yang terancam mendapatkan hukuman mati di Malaysia. Dari 53 TKI itu, jumlah tertinggi berasal dari Aceh 37 orang, disusul Sumatera Utara tujuh orang, Madura dua orang, Riau satu orang, Tulungagung Jawa Timur satu orang, Bali satu orang, NTB satu orang, dan tak jelas asalnya tiga orang. "Diduga ada dua orang wanita yakni Maria Palo kemungkinan asal Sulawesi dan Mariana Mariaji asal Tulung Agung Jawa Timur," kata Khairudin. Dari 53 TKI, maka 43 orang di antaranya terancam hukuman mati karena ditangkap dan dituduh telah menjadi pengedar narkoba pasal 39 B, dan 10 orang lainnya dituduh telah melakukan pembunuhan berdasarkan pasal 302. Daftar nama TKI yang terancam hukuman mati karena dituduh menjadi pengedar Narkoba itu ialah Mardani Husein (Aceh), Tarmizi Yakob (Aceh), Bustami Bukhari (Aceh), Parlan Bukhari (Aceh), Nasarudin Daud (Aceh), Azhari Nordin (Aceh), Mustakim Hanafi (Aceh), Agus Salim (Bali), Faisal Nordin (Aceh), Mahyudin Mohammad (Aceh), Zaki Nordin (Aceh), Maulana Hasbi (Aceh), Zainuddin (Aceh), Raja Syarif (Aceh). Selain itu adalah Zulkarnain (Aceh), Azahari Malik (Aceh), Bustami Abdul Majid (Aceh), Rosli (Medan), Heno Sibuea (Tanjung Balai Asahan Sumut), Hasbi Kasumi (Aceh), Baihaki Hamdan (Aceh), Faisal Ibrahim (Aceh), Sandri Bachtiar (Aceh), Mahrizal Mahdani (Aceh), Armiyadi (Aceh), Nasir Kahar (Aceh), Nizam (Aceh), Ismail Darmansyah (Aceh), Rusdi Ahmad (Aceh), Iskandar (Aceh), Azmir Mustafa (Aceh), Suraidi Hasbi (Aceh), Mohammad Rizal Ishak (Aceh), Subir Abdul Jalil (Aceh), Nor Binti Syed Ahmad tidak jelas asalnya, Sofyan Abdullah (Aceh), Fitriadi Luthan (Aceh), Mohammad Fais (Medan Sumut), Usman Hasan (Aceh), Barni Ali (Aceh), Amri Ibrahim (Aceh), Misliadi (Aceh), Azhari Mohammad Nor (Aceh). Sedangkan TKI yang terancam hukuman mati karena tuduhan pembunuhan ialah Adi Asnawi (Lombok NTB), Erik Kartim (Medan Sumut), Wahyuni Boeni (Medan Sumut), Haliman Sihombing (Medan Sumut), Sahlan (Madura), Syaputra Salidin (Madura). Kemudian Lili Ardi Sinaga (Pematang Siantar Sumut), Maria Palo, Mariana Mariaji (Tulung Agung Jatim), Junaidi (Riau). " TKI yang terancam hukuman mati karena pembunuhan, bagi TKI non Madura, biasanya membunuh karena majikannya tidak membayar gajinya bertahun-tahun atau berbulan-bulan. Mereka sudah minta baik-baik, agak keras, hingga keras sekali tidak dibayar juga maka tidak ada jalan lain kecuali membunuh majikannya," kata Khairudin. Sedangkan, bagi orang Madura umumnya membunuh karena perempuan. Istrinya digoda sesama TKI. Orang Madura biasanya membawa istrinya ketika kerja ke luar negeri. Istrinya membantu masak. Hidup dalam bedeng dengan jumlah TKI puluhan orang. TKI lelaki tidak berani menggoda wanita Malaysia karena dipandang "sebelah mata" sehingga akhirnya cuma berani menggoda istri TKI, termasuk orang Madura. Budaya orang Madura jika istri diganggu, maka ia akan membunuhnya. Mereka selalu bawa clurit. "Banyak TKI asal daerah lain tidak paham budaya Madura dan habis membunuh, maka orang Madura itu tidak kabur," tutur dia. Sementara, banyak TKI asal Aceh yang terancam hukuman mati karena menjadi pengedar narkoba. Karena itu perlu kajian sosial mengapa begitu banyak TKI asal Aceh menjadi pengedar narkoba. Menurut Khairudin Harahap, Kejaksaan Malaysia sebagai penuntut itu benar-benar kuat, tidak sembarangan. Jika kejaksaan menuntut hukuman mati biasanya hukuman dari majelis hakim pengadilan Malaysia umumnya mejatuhkan vonis hukuman mati juga. Jarang meleset. (*)

Pewarta:
Copyright © ANTARA 2007