Ambon (ANTARA News) - "Kalau pagi kita minum susu dicampur air hujan, uuh itu sudah nikmat sekali," kata dokter Carolus Yuliana Leoneta Louis saat menceritakan pengalamannya terkatung-katung selama 14 hari di laut. Bagi dokter Carolus Yuliana Leonita, yang adalah Kepala Dinas Kesehatan Maluku Tenggara Barat Saum Laki, pengalaman terkatung-katung di tengah laut itu merupakan pengalaman yang tak bakal terlupakan. Ketika itu, Yuli, begitu dia disapa, sedang menuju Desa Alusi Kelaan, Kecamatan Kromo Molin, di Maluku Tenggara Barat, yang hanya bisa ditempuh dengan perahu motor dari pusat kabupaten. Awalnya, pada 27 Februari 2007, dr Yuliana mendapat perintah untuk mendampingi bupati yang akan melakukan kunjungan ke desa Alusi Kelaan. Acara kunjungan dijadwalkan pada 28 Februari 2007. Seperti biasa yang dilakukan dalam suatu kunjungan kerja, Kepala Dinas Kesehatan yang akan mendampingi bupati harus menuju daerah tujuan lebih awal untuk menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan. "Karena itu saya berangkat mendahului pada 27 Februari malam pukul 20.00 WIT," kata ibu dari dua anak, Lidya (13) dan Louis Benjamin Carol (16). Dengan menggunakan perahu boat berukuran panjang lima meter dan lebar 1,60 meter, dr Yuliana berangkat bersama lima orang stafnya, Ny. Petronela Kulalean, Kepala Puskesmas Alusi Kelaan Daniel Aryesam, Michael Djilfufin, Victor Jabar, dan Mathius Rahanluan (nahkoda). Perjalanaan ke desa itu biasanya dapat ditempuh dalam dua jam pelayaran. Selain berenam, perahu tersebut juga membawa makanan roti biskuit serta susu bayi yang akan dibagikan kepada masyarakat Desa Alusi Kelaan. Biskuit dan susu bayi itu dibawa untuk menjalankan program perbaikan gizi. Desa Alusi Kelaan selama ini memang dikenal sebagai daerah yang rawan gizi buruk. Perjalanan itu, menurut Yuli, tak menghadapi persoalan berarti, lancar-lancar saja, ditambah dengan kondisi laut yang bersahabat. Berbagai rencana kegiatan di desa bersama bupati seperti sudah di depan mata, termasuk kerepotan dan suka dukanya. Tapi tiba-tiba mesin kapal mati dan kapal pun tak lagi bisa bergerak ke arah yang dituju. "Perjalanan sudah satu jam lebih, sekitar lima belas menit lagi tiba-tiba mesin perahu mati, bensinnya habis, tangki kosong. Yaa otomatis mati," kata dr Yuliana yang sebelum menjadi Kepala Dinas Kesehatan bekerja di RSUD Ambon. Akibatnya perahu bermesin 60 PK tersebut terkatung-katung di laut. "Karena tak profesionalnya kami, waktu itu kami tak lego jangkar jadi akhirnya hanyut mengikuti arus laut," katanya menjelaskan. Selain itu, dalam perjalanan tersebut tidak mempersiapkan perbekalan yang cukup baik makanan maupun baju atau peralatan lainnya. Dalam kegelapan malam mereka pun hanya bisa menatap air laut yang mulai gelap dan bintang-bintang di langit. Tidak ada alat komunikasi yang bisa berfungsi. Lengkaplah mereka menjadi rombongan yang terpisah dari peradaban. Menurut Yuliana, dalam keadaan yang penuh tekanan dan kegugupan itu, dirinya masih berusaha untuk tetap waras dan menenangkan para stafnya. "Saya pikir, besok kan rombongan bupati akan lewat sehingga pasti ditemukan," katanya. Namun, harapan bertemu rombongan bupati tak pernah terwujud. Perahu kecil itu terus terombang-ambing dan terus menjauh dari Desa Alusi Kelaan. Memasuki hari ketiga, hampir semua anggota rombongan putus asa. Sementara itu, dr Yuliana muntah-muntah setiap habis makan. "Kami cuma pasrah. Kami berdoa, Tuhan tolonglah kami berenam. Karena saya Nasrani, Tuhan orang hidup bukan karena makan nasi atau roti. Orang hidup karena iman kami pada Tuhan," kata dr Yuliana. Karena itu, tambah dokter bertubuh subur tersebut, dia berjanji tidak akan makan lagi sampai menginjakkan kaki ke daratan kembali. "Saya hanya minum air hujan dan kadang-kadang makan biscuit," katanya menerawang. Tak terbayangkan perahu hanyut hingga sampai 14 hari sebelum ditemukan perahu nelayan yang dinahkodai Syamsuddin asal Buton, Sulawesi. Saat ditemukan, posisi perahu sudah berada diperairan laut Arafuru, atau hanyut sejauh 320 mil laut dari tempat semula. Selama hanyut sebenarnya berkali-kali melihat perahu lain melintas, namun meskipun mereka berteriak-teriak minta tolong, perahu-perahu tersebut tidak mendengarnya. Bahkan, suatu ketika justru hampir tertabrak kapal tangker besar yang melintas. "Namun selama 14 hari terkatung-katung di laut kami bersyukur tidak sendirian karena banyak sekali ikan-ikan hias disamping perahu kami. Rasanya seperti aquarium besar," katanya. Beberapa anggota rombongan terkadang menangkap ikan-ikan hias itu, namun dilepaskan kembali ke laut. Tak pernah sekalipun mereka memakan ikan laut itu. "Itu mungkin Tuhan kasih hiburan pada kami," kata Yuliana. Selama dua pekan itu, setidaknya tiga kali perahu dihantam badai. Saat badai tiba, ombak laut bisa mencapai tujuh meter tingginya. Menurut Yuliana, tidak ada yang bisa dilakukan selain memanjatkan doa. Ketika ditanyakan apakah ia menjadi trauma dengan kejadian tersebut, Yuliana dengan ringan mengatakan hal itu tidak akan mengubah pengabdiaannya kepada masyarakat. "Tidak trauma, kami telah serahkan semuanya pada Tuhan, karena berkat pertolongan Tuhan kami diselamatkan," kata Yuliana.(*)

Oleh Oleh Jaka S Suryo
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007