Canberra (ANTARA News) - Penggalakan pengajaran Bahasa Indonesia di Australia akan menjadi investasi jangka panjang negara itu demi menjaga stabilitas, memperkuat dan memperluas hubungan kedua negara, karena tanpa menguasai bahasa sulit bagi warga negara itu untuk lebih mengenal karakteristik Indonesia, kata seorang linguis ANU. "Sebenarnya, tidak ada pilihan banyak buat Australia untuk mengenal baik Indonesia kecuali melalui penguasaan bahasanya. Bagi peneliti Australia misalnya, bagaimana mungkin mereka bisa melakukan riset tentang Indonesia dengan baik jika tidak menguasai bahasanya," kata Ida Baharuddin Major kepada ANTARA di Canberra, Jumat. Pakar dan pengajar Bahasa Indonesia Universitas Nasional Australia (ANU) itu mengemukakan pandangannya menjawab pertanyaan tentang peran bahasa dalam memperkuat hubungan Indonesia-Australia. Indonesia merupakan negara di Asia Tenggara yang terbesar dan terdekat jaraknya dengan Australia. Kedua negara sudah ditakdirkan Tuhan hidup bertetangga, sehingga keduanya tidak memiliki pilihan lain kecuali membangun hubungan yang baik, kendati keduanya memiliki perbedaan sejarah, tingkat ekonomi, sosial dan budaya, katanya. "Australia lebih dekat ke Asia daripada Eropa. Dan Indonesia adalah negara terbesar di Asia Tenggara dan terdekat dengan Australia. Sebenarnya Australia tidak ada urusan dengan Eropa, kecuali Inggris," katanya. "Semua ini bisa dilihat dari fakta bahwa Australia bahkan berhubungan dengan negara-negara kecil di sekitarnya, seperti Fiji. Dengan negara kecil saja Australia punya hubungan, apalagi dengan Indonesia sebagai salah satu negara Asia yang besar, baik dilihat dari kepentingan perdagangan maupun pertahanan. Nah, bahasa memegang peranan penting di sini," kata Ida. Menurut dia, minat warga negara Australia untuk mempelajari Bahasa Indonesia tetap ada, namun sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi Indonesia. Bahasa Indonesia juga tetap diajarkan di berbagai tingkat pendidikan di negara berpenduduk lebih dari 20 juta jiwa dengan Produk Nasional Bruto (GNP) mencapai 835 miliar dolar Australia (setara dengan 603 miliar dolar AS) itu, kata Ida. Pengajar Bahasa Indonesia yang merampungkan pendidikan akademiknya di sejumlah universitas di Australia ini lebih lanjut mengatakan dia kini mengajar 12 orang di ANU yang umumnya mereka adalah akademisi bergelar doktor. "Jumlah mereka yang belajar Bahasa Indonesia di ANU naik turun. Tapi, jumlah antara 12 hingga 25 orang per kelas," kata Ida, putri Sumatera Barat yang bersuamikan orang Australia itu. Di luar ANU, terdapat sedikitnya enam kursus Bahasa Indonesia yang diselenggarakan oleh perorangan baik orang Australia maupun orang Indonesia yang menikah dengan orang Australia, kata Ida yang telah mengajar bahasa Indonesia sejak 1980-an di berbagai kota di Australia itu. Sementara itu, terkait dengan pentingnya penguasaan bahasa asing, Komite Keamanan dan Intelijen Parlemen Federal Australia dalam laporannya tentang rekrutmen dan pelatihan oleh badan intelijen Australia baru-baru menyimpulkan bahwa "keahlian berbahasa umumnya telah diabaikan selama bertahun-tahun di Australia". Padahal, menurut laporan komite itu sebagaimana dikutip Majalah "About the House" (majalah terbitan DPR Australia edisi 29, Desember 2006), kebijakan bahasa nasional akan menjadi investasi jangka panjang bagi masa depan Australia dan akan memberikan manfaat bagi dinas intelijen dan kepentingan negara itu secara keseluruhan. Terpengaruh krismon Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI Canberra, R. Agus Sartono, yang dihubungi secara terpisah mengemukakan pengajaran Bahasa Indonesia di Australia seharusnya tidak menyurut hanya karena Indonesia mengalami krisis ekonomi beberapa tahun lalu. "Kecenderungan pengajaran Bahasa Indonesia bagi siswa di sini menurun sejak kita mengalami krisis ekonomi. Namun, pandangan ini salah karena hasil riset Price WaterhouseCooper baru-baru ini justru menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia pada 2050 akan sangat maju dan lebih besar dari Jerman," katanya. Jika penelitian ini benar adanya, para siswa Australia yang belajar Bahasa Indonesia sekarang inilah yang akan ikut "menikmati kue besar ekonomi Indonesia" tahun 2050, karena mereka saat itu berusia 40 tahun-an, kata Agus. (*)

Copyright © ANTARA 2007