Besakih, Bali (ANTARA News) - Ribuan umat Hindu yang datang dari berbagai pelosok pedesaan di delapan kabupaten dan kota di Bali, ikut ambil bagian dalam prosesi ritual penyucian "pratime" (benda sakral) serangkaian upacara "Betara Turun Kabeh" di Pura Besakih. Umat yang mengenakan busana adat Bali, dominasi warna putih dan kuning, berjalan kaki menuju tempat permandian suci (beji) Toya Esah yang berjarak sekitar 13 km selatan Pura Besakih, demikian Antara melaporkan dari Pura Besakih yang terletak di lereng kaki Gunung Agung (3142), Kabupaten Karangasem, Sabtu siang. Iring-iringan umat sambil menggotong "Pratime" dan sebagian lainnya menjunjung gebogan dan banten (rangkaian janur) menempuh jarak 13 km itu dengan jalan kaki. Alunan instrumen musik tradisional Bali (gong) yang ditabuh bertalu-talu mengiringi kegiatan ritual penyucian (pembersihan) benda sakral. Jarak 13 km dari Pura Besakih menuju tempat penyucian pratime ditempuh dalam waktu 1,5 jam atau 26 km dalam waktu tiga jam pergi pulang. Matahari yang bersembuyi di balik awan itu cukup membantu kelancaran, sehingga iring-iringan prosesi terhindar dari kepanasan. Kegiatan tersebut dimulai dari Pura Besakih pukul 11.30 Wita dan baru saja sampai di tempat permandian suci Toya Esah untuk membersihkan sejumlah pratima. Kegiatan tersebut ditandai dengan persembahyangan bersama yang dipimpin seorang pendeta. Selesai persembahyangan puluhan "pratima" kembali diusung ke Pura Besakih. Kegiatan ritual "Betara Turun Kabeh" puncaknya jatuh pada Purnama Kedasa, 2 April mendatang (Senin), yang akan dihadiri ribuan umat dari berbagai pelosok pedesaan di Bali. Gubernur Bali, Drs Dewa Beratha bersama Ketua DPRD setempat, Ida Bagus Putu Wesnawa, rencananya akan menghadiri kegiatan ritual yang bermakna memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa, agar dianugerahi keselamatan, kedamaian dan kesejahteraan umat manusia serta terhindar dari musibah dan bencana alam. Pura Besakih adalah tempat suci umat Hindu terbesar di Bali yang mempunyai arti penting bagi kehidupan keagamaan umat Hindu, yakni sebagai istana para Dewa. Sebagai tempat suci Pura Besakih juga berfungsi sebagai Pura "Rwa Bhineda", "Sad Kahyangan", "Padma Bhuana" dan pusat dari segala kegiatan upacara keagamaan. Perhatian terhadap Pura Besakih dimulai dari pemerintahan Raja Sri Udayana Warmadewa (tahun 1007), hingga pemerintahan raja-raja keturunan Sri Kresna Kepakisan (tahun 1444 dan 1454 Masehi). Perhatian besar sang raja itu, dilanjutkan pada zaman penjajahan Belanda di Indonesia dalam bentuk restorasi secara besar-besaran terhadap beberapa kompleks bangunan suci yang rusak akibat bencana alam, antara lain gempa bumi dan Gunung Agung meletus, April 1963. Setelah Indonesia merdeka, pemerintah melakukan perbaikan terhadap beberapa bangunan fisik yang rusak, sekaligus menggelar rangkaian upacara keagamaan secara berkesinambungan hingga sekarang. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007