Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah Indonesia dalam KTT ke-2 Pencegahan Pendanaan Terorisme (2nd Counter-Terrorism Financing/ CTF Summit) mendorong komunitas internasional untuk mulai melakukan upaya penanganan terorisme secara seimbang, yaitu melalui pendekatan keras dan lunak.

"Indonesia menyadari bahwa penanganan terorisme harus dilakukan secara seimbang antara hard approach (pendekatan keras) yang mendorong penguatan penegakan hukum, dengan soft approach (pendekatan lunak) yang memberdayakan semua lapisan masyarakat untuk menyebarkan nilai toleransi dan menolak ideologi radikal," kata Wakil Menteri Luar Negeri A.M. Fachir, seperti disampaikan dalam keterangan pers yang diterima di Jakarta, Rabu.

Pernyataan tersebut dia sampaikan dalam sambutannya pada Konferensi Tingkat Tinggi ke-2 Pencegahan Pendanaan Terorisme, yang berlangsung di Nusa Dua, Bali pada 8-11 Agustus 2016.

Wamenlu Fachir mengatakan bahwa terorisme telah menjadi ancaman keamanan dan perdamaian dunia yang semakin nyata dan terus meningkat. Untuk itu, Pemerintah Indonesia menilai pendekatan yang dilakukan dalam upaya penanggulangan terorisme harus seimbang.

"Pada 2014, aksi terorisme telah memakan 32.000 korban jiwa atau meningkat 80 persen dari tahun sebelumnya. Untuk itu, terorisme harus dilawan secara terpadu," ujar dia.

Menurut Wamenlu RI, aksi terorisme di seluruh belahan dunia semakin meningkat dan sebarannya juga semakin meluas, yang ditandai dengan munculnya fenomena ISIL dalam beberapa tahun terakhir.

Wamenlu Fachir memaparkan bahwa hingga saat ini sudah terdapat lebih 33.000 orang, yang berasal dari lebih dari 100 negara, ikut bergabung dengan ISIL.

"Maka lebih lanjut program deradikalisasi harus berjalan dengan baik untuk menjamin reintegrasi mantan teroris ke masyarakat," kata dia.

Pada pertemuan itu, Pemerintah Indonesia juga mendorong komunitas internasional untuk memperkuat strategi penanggulangan pendanaan terorisme di kawasan.

"Disadari bahwa aksi terorisme menggunakan pendanaan, dan sudah menjadi kewajiban komunitas internasional untuk mencegahnya," ujar Fachir.

Dia menyebutkan salah satu upaya terpadu yang harus dilakukan adalah mendorong penguatan strategi penanggulangan pendanaan terorisme di kawasan, salah satunya melalui mekanisme "Regional Risk Assessment" (Penilaian Risiko Regional).

Selain itu, menurut dia, strategi penanggulangan pendanaan terorisme di kawasan juga dapat dilakukan dengan penguatan kerja sama antar-unit intelijen keuangan negara dan mengembangkan sarana edukatif untuk meningkatkan kesadaran seluruh pemangku kepentingan terkait risiko pendanaan terorisme.

Wamenlu Fachir mengatakan, Kementerian Luar Negeri RI bersama Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) telah berperan aktif dalam berbagai forum melalui upaya diplomasi untuk memenuhi rekomendasi "Financial Action Task Force (FATF)", dan pada 2015 upaya itu berhasil mengeluarkan Indonesia dari daftar negara yang memiliki risiko pendanaan terorisme.

"Dikeluarkannya Indonesia dari daftar tersebut telah meningkatkan profil perbankan dan rating investasi Indonesia. Karena itu, Kemlu akan terus mendorong penguatan kerja sama internasional terkait pencegahan pendanaan terorisme, baik di tingkat regional maupun global," ujar dia.

Pewarta: Yuni Arisandy
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016