Kediri (ANTARA News) - Pembawaannya tetap ramah terhadap siapa saja. Itulah Fandi Ahmad, mantan pemain bintang sepakbola asal Singapura. "Maaf saya tadi ketiduran setelah ikut gym (berlatih kebugaran), jadi terlambat menemui kalian," ujarnya saat ditemui di Hotel Grand Surya, Kediri, Jawa Timur, Kamis. Mantan pemain klub kompetisi Gabungan Liga Utama (Galatama) Niac Mitra, Surabaya, di era 1982-1983 itu mengaku seumur hidupnya tak akan melupakan persepakbolaan Indonesia. Di Indonesia pula karir sepakbola Fandi Ahmad mulai menanjak saat bersama rekan senegaranya David Lee membela tim kebanggaan warga Surabaya dan Jawa Timur. Baginya, Indonesia bukan hanya "berjasa" melegendakan namanya, tapi lebih dari itu. "Kebetulan kakek dan nenek saya orang Pacitan. Dulu ketika masih bermain di Niac Mitra, saya pernah berkunjung ke sana," ujarnya mengingat daerah terpencil di Jawa Timur, tempat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dilahirkan. "Makanya begitu saya mendapat tawaran untuk menangani Pelita Jaya, langsung saya sambut dengan suka cita karena kecintaan saya pada sepakbola Indonesia," kata pria yang rela meninggalkan klub yang ditangani sebelumnya, Singapura Air Force, itu. Selain pernah membawa Niac Mitra menjuarai kompetisi Galatama, Fandi mengaku masih teringat pengalaman indahnya saat berhasil mengalahkan tim papan atas Liga Inggris, Arsenal, di Gelora Sepuluh November pada 1980-an itu. "Padahal sebelum bermain saya sempat gentar, karena pada waktu itu pandangan saya tertuju pada telapak tangan Patrick Jennings (kiper Arsenal) yang besar," ujarnya mengenang masa lalunya. Namun sayangnya kemesraan bersama para pemain Niac Mitra hanya berlangsung selama dua tahun, karena setelah itu PSSI melarang klub Galatama diperkuat pemain asing. Fandi Ahmad pun akhirnya berkelana ke Belanda bersama rekannya David Lee yang di Niac Mitra berposisi sebagai kiper. "Setelah itu kami sudah tidak tahu lagi prestasi sepakbola Indonesia, baik timnasnya maupun klubnya," kata pria yang beristrikan seorang perempuan berkebangsaan Afrika Selatan itu. Meski keberadaannya di Indonesia bukan lagi sebagai pemain, tapi pelatih kepala klub Pelita Jaya, Purwakarta, namun Fandi mengaku menyimpan sejumlah obsesi pada sepakbola Indonesia yang telah membesarkan namanya di level Asia Tenggara itu. Menurut dia, para pemain sepakbola di Indonesia, khususnya yang masih muda, memiliki potensi besar untuk dibina, sehingga nantinya bisa berprestasi di kawasan Asia Tenggara. Dalam pengamatannya, pembinaan sepakbola di Indonesia tidak dilakukan secara serius, bahkan klub-klub peserta kompetisi sekarang ini lebih gemar membeli pemain asing dengan harga mahal dengan jumlah yang banyak pula. Klub peserta kompetisi di Indonesia diijinkan membeli lima pemain asing, padahal di Singapura hanya tiga pemain asing. Sehingga, menurut Fandi, para pemain lokal kurang diberi kesempatan menambah pengalaman bertanding. Hal inilah salah satu titik kekurangan sistem pembinaan sepakbola di Indonesia, sehingga selama beberapa tahun terakhir prestasinya tidak menunjukkan peningkatan, bahkan berada di bawah tim Singapura. "Kalau diberi kesempatan lebih besar lagi, saya bersedia berbagi pengalaman untuk bisa memajukan persepakbolaan di Indonesia," ujar Fandi mengungkapkan keinginannya yang selama ini terpendam. (*)

Copyright © ANTARA 2007