Jakarta (ANTARA News) - Kebijakan penurunan biaya interkoneksi dinilai jangan sampai hanya menguntungkan operator swasta saja, pasalnya banyak operator asing yang tidak serius membangun infrastruktur jaringan atau hanya terbatas di kota saja.

"Kebijakan biaya interkoneksi ini juga jangan sampai merugikan Telkom dan Telkomsel yang selama ini giat membangun infrastruktur jaringan hingga ke daerah pedalaman atau pelosok. Apalagi, operator BUMN tersebut telah mengeluarkan investasi yang tidak sedikit," kata Anggota Komisi VI FPKB DPR-RI, Yaqut Cholil Qoumas, di Jakarta, Senin.

Yaqut yang juga Ketua Umum GP Ansor ini mengatakan, terkait dengan prinsip keadilan dan persaingan usaha yang sehat, maka perlu diberlakukan skema asimetris dalam perhitungan dasar biaya interkoneksi.

"Dengan skema asimetris, biaya interkoneksi berdasarkan pada biaya yang dikeluarkan atas kerja keras membangun jaringan dan efisiensi dari masing-masing operator (cost based)," ungkapnya.

Ia pun menambahkan, pemerintah harus konsisten untuk menjalankan PP Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi, khususnya pada pasal 21, pasal 22 dan pasal 23. Khusus pada pasal 23 ayat 2 terkait biaya interkoneksi disebutkan, bahwa biaya interkoneksi ditetapkan berdasarkan perhitungan yang transparan, disepakati bersama dan adil.

"Berkaitan dengan itu, biaya interkoneksi merupakan cost recovery dari setiap operator," ujarnya.

Berdasarkan RDPU Komisi I DPR dengan para operator, lanjutnya, didapatkan data jika cost recovery Telkom dan Telkomsel sebesar Rp285 per menit. Sedangkan cost recovery operator lainnya, Indosat Rp86 per menit, XL Rp65 per menit, Smartfren Rp100 per menit dan Tri Rp120 per menit.

"Dengan demikian, tarif interkoneksi yang rencananya dikenakan sebesar Rp204 per menit jauh di bawah cost recovery yang ditanggung oleh Telkom/Telkomsel," terangnya.

Terkait wacana lebih lanjut dari biaya interkoneksi ini, adalah revisi terhadap PP Nomor 52 dan PP Nomor 53 Tahun 2000, yang memungkinkan adanya "network sharing" (berbagi jaringan). Jika hal tersebut terjadi, Negara bisa mengalami kerugian yang besar, karena para operator yang selama ini malas membangun jaringan, akan mendompleng jaringan Telkom/Telkomsel, sehingga dikhawatirkan akan membuat penetrasi ketersediaan jaringan di wilayah Indonesia tidak akan bertambah.

"Maka tidak tepat jika penurunan biaya interkoneksi ini ditujukan demi konsumen, karena isu ini jelas adalah aksi korporasi yang ingin mendobrak dominasi Telkom dan Telkomsel dalam industri telekomunikasi, dan memperbesar setoran ke pemilik saham atau investor utama yang berada di luar negeri seperti Malaysia dan Qatar," papar Yaqut.

Sementara, berkaitan dengan efisiensi, yang perlu dilakukan oleh semua operator mengelola biaya promosi secara efektif dan menetapkan margin yang wajar, sehingga biaya ritel yang dibebankan ke konsumen dapat lebih terjangkau.

Pemerintah menerapkan regulasi baru terkait penurunan tarif interkoneksi menimbulkan polemik dimana tarif baru interkoneksi yang lebih rendah rata-rata 26 persen dari Rp250 menjadi Rp204 per menit, sedianya diberlakukan mulai 1 September 2016, namun ditunda mengingat belum semua operator telekomunikasi menyerahkan DPI (Dokumen Penawaran Interkoneksi), yang berisi skema, tarif, dan layanan interkoneksi suatu operator.

Operator yang telah menyerahkan DPI tersebut adalah Indosat, XL, Hutchison Tri Indonesia, dan Smartfren. Sedangkan, Telkom dan Telkomsel dengan tegas menolak menyerahkan DPI akibat tidak setuju dengan perhitungan tarif interkoneksi yang baru.

Pewarta: Royke Sinaga
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016