Jakarta (ANTARA News) - Banyak desa yang saat ini belum terjangkau akses telekomunikasi (42.517 desa) tidak membutuhkan jaringan telekomunikasi atau jaringan Internet yang sedang dikembangkan melalui program "Universal Service Obligation (USO)", kata Prof DR Marsudi Wahyu Kisworo. "Selama ini kita melihat USO dari kacamata orang kota bahwa orang desa itu butuh akses telekomunikasi dan Internet. Padahal, mereka lebih butuh puskesmas, butuh sekolah, atau lebih butuh pupuk," ujar pakar Teknologi Informasi (TI) itu dalam diskusi dalam rangka Dies Natalis ke-40 Universitas Yarsi, di Jakarta, Senin. Oleh karena itu, dosen Universitas Paramadina tersebut menegaskan, perlu dikaji lebih dulu kebutuhan warga setempat, apakah membutuhkan Internet, telepon, atau radio komunitas. Menurut dia, kalau hanya ingin mengetahui perkembangan harga sayur-mayur atau komoditas pertanian lain, di radio RRI pun sudah ada sejak dulu. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informasi (Permen Kominfo) Nomor 15 tahun 2005 pasal 2 menyebutkan, tiap penyelenggara komunikasi yang telah mendapat izin, wajib memberi kontribusi USO sebesar 0,75 persen (akan dinaikkan menjadi 1,25 persen) dari pendapatan kotor per tahun untuk proyek penyediaan fasilitas jaringan telepon dan layanan teknologi informasi pedesaan. Marsudi menilai, orang TI harus malu akan hasil riset efektivitas dari program SMA 2000 yang menyediakan komputer gratis dan Internet ke berbagai sekolah menengah yang menyebutkan, 80 persen pita lebar (bandwidth) Internet digunakan untuk mengakses situs-situs pornografi dan bukan untuk mencari ilmu. "Kita lupa di AS sejak kecil anak-anak sudah lancar berbahasa Inggris jadi akses Internet menjadi lebih berarti, berbeda dari kondisi di Indonesia apalagi di daerah-daerah yang kesulitan berbahasa. Di sisi lain bahasa gambar lebih universal dan menarik," katanya. Marsudi mengatakan, program USO yang menargetkan pengumpulan dana hingga Rp1 triliun per tahun bagi pembangunan infrastruktur telekomunikasi dan informasi di pedesaan lebih banyak berorientasi proyek. "Kita membayar mahal pulsa telpon seluler dan lain-lain, termasuk untuk menyumbang proyek ini, lalu hasilnya hanya untuk proyek pembangunan infrastruktur telekomunikasi dan internet pedesaan yang masyarakatnya belum tentu butuh," katanya. Sementara itu, Menteri Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal, Syaifullah Yusuf, di tempat sama mencontohkan, ketika infrastruktur telekomunikasi seperti satelit dan fiber optik sudah dibangun, sinyal masuk ke desa-desa, berarti warga desa harus juga membeli telepon genggamnya dan pulsanya yang terhitung mahal itu setiap saat. Menurut dia, program USO bisa menjadi sia-sia jika operator pemenang tender USO hanya berorientasi pada proyek dan tidak peduli pada kontinuitas dan perkembangan penyediaan pelayanan telekomunikasi dan internet di masyarakat pedesaan. Perusahaan yang paling besar mencari untung, ujar Marsudi, adalah perusahaan di bidang telekomunikasi, karena tidak pernah dianggap sebagai perusahaan infrastruktur. Hal ini, menurut dia, berbeda dari Hongkong yang tarif teleponnya gratis, karena dianggap sebagai pelayanan publik sehingga tidak mencari untung. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007