Damaskus (ANTARA News) - Warga sipil Suriah yang sudah sejak lama terjebak perang saudara untuk sementara waktu bisa rihat dari bising suara meriam dan tembakan setelah gencatan senjata yang diperantarai Amerika Serikat dan Rusia berlaku pada Senin malam, bertepatan dengan hari raya Idul Adha.

Militer Suriah mengumumkan gencatan senjata nasional tujuh hari mulai Senin pukul 19.00 waktu setempat sampai dengan 19 September menurut laporan media lokal.

Gencatan senjata sepekan yang diperantarai oleh Amerika Serikat dan Rusia tersebut mengharuskan semua pihak yang berperang di Suriah menghentikan serangan dan serangan udara, dan memungkinkan akses ke daerah-daerah terkepung seperti di kota Aleppo di bagian utara negeri itu.

Gencatan senjata itu juga meliputi peningkatan akses kemanusiaan dan operasi militer gabungan terhadap kelompok-kelompok teroris yang dilarang.

Militer Suriah mengumumkan keputusan untuk mengawasi gencatan senjata nasional, namun juga menyatakan bahwa mereka berhak menanggapi pelanggaran apapun yang dilakukan oleh para pemberontak.

Pada Senin, beberapa jam sebelum gencatan senjata berlaku, Presiden Suriah Bashar al Assad mengunjungi Daraya, kota kecil di pinggiran Damaskus yang baru saja direbut kembali.

Assad juga menyempatkan diri menjalankan shalat Ied bersama warga Daraya, yang selama hampir empat yahun menjadi benteng pertahanan pemberontak.

Bulan lalu ratusan petempur pemberontak meninggalkan Daraya di bawah perjanjian yang mereka sepakati dengan tentara Suriah.

Informasi dari sumber-sumber berbeda yang mengawasi gencatan senjata mengonfirmasi bahwa gencatan senjata itu masih bertahan dalam beberapa jam terakhir, namun mereka yang tinggal di Suriah punya jawaban berbeda mengenai prospek kesepakatan gencatan bersenjata itu.

Di Aleppo, kota yang diperebutkan oleh kedua pihak yang berperang sejak 2012, orang-orang yang sering menjadi sasaran pemberontak menyatakan bahwa mereka tidak percaya pada pemberontak karena upaya perdamaian sebelumnya sudah gagal.

Mereka mengatakan setiap kali ada gencatan senjata dideklarasikan, para pemberontak mengambil keuntungan dengan mengumpulkan kembali dan membawa lebih banyak senjata.

"Kami menentang gencatan senjata karena setiap kali ada gencatan senjata para pemberontak berkumpul kembali dan mengumpulkan senjata dan sumber daya manusia lagi dan mereka menembaki Aleppo lagi. Setiap kali ada gencatan senjata, rakyatlah yang membayar harganya," kata ayah dari dua anak, Ibrahim Khalil (43), kepada Xinhua, berusaha segera mengakhiri perbincangan karena takut ada serangan mortir lainnya.

Namun di kota-kota lain, beberapa warga berharap gencatan senjata dapat bertahan.

"Saya berharap kesepakatan ini dapat diterapkan dan saya yakin ini akan berhasil karena gencatan senjata adalah satu-satunya cara untuk keluar dari kekerasan. Saya percaya kesepakatan ini akan bertahan dan menghentikan pertumpahan darah," kata Muhammad Burri, seorang pedagang Suriah, kepada Xinhua.

Perang sipil berlarut-larut di Suriah telah menewaskan lebih dari 250.000 orang sejak Maret 2011 dan memaksa hampir 4,8 juta orang mengungsi ke luar negeri menurut stastistik Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). (Uu.G005)


Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2016