Jakarta (ANTARA News) - Tingkat suku bunga di Jepang diperkirakan akan mengalami peningkatan sehingga Indonesia harus mengantisipasi dampaknya terutama berkaitan dengan kemungkinan meningkatnya beban pembayaran bunga utang luar negeri berbentuk Yen. "Pemulihan pertumbuhan ekonomi di Jepang dari 2,1 persen menjadi 2,3 persen yang disertai peningkatan inflasi dari 0,1 persen menjadi 0,3 persen akan mendorong peningkatan suku bunga di Jepang," kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Anggito Abimanyu di Jakarta, Rabu. Ia menyebutkan, kondisi tersebut akan berdampak kepada meningkatnya aliran modal masuk ke Jepang (unwinding yen carry trade) dan perkembangan arus modal di emerging market (pasar yang sedang berkembang), termasuk Indonesia. Indonesia mengharapkan agar peningkatan suku bunga di Jepang hanya bersifat sementara (tmporer) saja sehingga tidak akan menyebabkan peningkatan beban pembayaran bunga utang luar negeri. "Di sisi lain juga perlu upaya diversifikasi supaya kita tidak tergantung kepada Yen. Dalam situasi seperti ini kita minta yang di luar mata uang Yen, yang menguat agar ditambah. Karena kalau Yen mengalami apresisi kan beban kita bertambah. Tentu Bank Indonesia (BI) tahu bagaimana cara melakukan diversifikasi, dan tugasnya memang mengelola cadangan devisa," katanya. Menurut Anggito, dalam pertemuan menteri-menteri ASEAN di Chiangmai beberapa waktu lalu, pihak Jepang sudah menyampaikan perkiraan bahwa peningkatan suku bunga di Jepang kemungkinan hanya bersifat temporer. "Kita sudah dapat surat dari Jepang waktu di Chiangmai kemarin bahwa ini sangat temporer dan itu membuat kita lega," katanya. Mengenai dampaknya terhadap nilai tukar rupiah, Anggito mengatakan, banyak faktor yang mempengaruhi yaitu supplai dan permintaan. Kalau ekspor meningkat maka supplai akan meningkat sehingga stabilitas nilai tukar rupiah akan stabil. Anggito menyebutkan, perkembangan ekonomi global dan regional 2007 akan menghadapi beberapa tantangan. Pertumbuhan ekonomi global akan sedikit melambat dari 5,4 persen tahun 2006 menjadi 4,9 persen di tahun 2007. Penurunan laju pertumbuhan global itu antara lain disebabkan oleh perlambatan ekonomi AS yang lebih nyata dari yang diperkirakan. Di sisi lain, ketidakpastian harga minyak dan komoditi primer, serta ketidakseimbangan global dan volatilitas pasar keuangan turut menyebabkan perlambatan ekonomi global. "Perkembangan ekonomi regional di kawasan ASEAN + 3 pada tahun 2007 juga diproyeksikan akan mengalami perlambatan, kecuali di Indonesia dan Jepang. Laju pertumbuhan ekonomi Cina, walaupun melambat, masih akan mencapai 2 digit (di atas 10 persen," demikian Anggito. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007