Jakarta (ANTARA News) - Rencana pembentukan induk usaha (holding) Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bidang energi antara Pertamina dan Perusahaan Gas Negara (PGN) belum tentu dapat menurunkan harga gas, kata peneliti Pusat Studi Energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi.

"Kalau dibilang holding menurunkan harga gas, menurut saya tidak. Harga (gas) di hulu di kita itu 4-5 dollar AS. Tapi permasalahannya di mid term," kata Fahmy di Jakarta, Selasa.

Dia berpendapat penyebab mahalnya harga gas di tingkat konsumen dikarenakan adanya rantai distribusi yang panjang dari hulu hingga ke hilir.

Direktur Penelitian CORE Indonesia Mohammad Faisal mengungkapkan contoh kasus di Kota Bekasi di mana terdapat lima "trader" dalam satu jalur distribusi yang menyebabkan penjualan bertingkat sebelum sampai ke konsumen langsung atau pengguna.

Faisal mengatakan harga gas sebenarnya bisa ditekan dengan memantau dan menertibkan praktik penjualan bertingkat di lapangan.

"Walaupun ada BUMN holding energi, kalau masih ada paktik seperti ini harga gas masih akan tinggi," kata Faisal.

Sementara Fahmy berpendapat permasalahan yang krusial di industri gas ialah tidak ada ketersediaan infrastruktur dan tidak adanya koordinasi.

Dia menjelaskan PGN dan Pertagas (Pertamina Gas) sebagai BUMN yang bergerak di sektor gas masih melakukan persaingan dan belum bersinergi sebagai perusahaan milik negara.

"Sesungguhnya tidak harus holding untuk mengatasi masalah jangka pendek ini, barangkali integrasi pipa," kata Fahmy.

Dia menyarankan sebaiknya PGN dan Pertagas berkoordinasi dan berbagi dalam penggunaan pipa gas untuk mempermudah jalur distribusi.

Pewarta: Aditya Ramadhan
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2016