Mantan Menteri Agama almarhum Muhammad Maftuh Basyuni punya kisah menarik terkait dengan karomah yang dimiliki seseorang, namun ceritanya berbeda dengan karomah Dimas Kanjeng - yang kini ramai dibicarakan banyak orang - terkait kasus kriminalnya.

Karomah di tengah masyarakat Indonesia kini masih dimaknai secara sempit, yaitu sebagai kelebihan pada diri seseorang - ulama, kiyai, ustadz, kanjeng dan lainnya - yang dapat memberi bantuan atau pertolongan secara instan.

Tatkala masih sehat, Maftuh pernah bercerita kepada penulis bahwa ia keluar dari Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor (PMDG), Jawa Timur. Pasalnya, karena dia dinilai memiliki karomah oleh warga sekitar pondok.

Awalnya ia belajar di lembaga pendidikan tersebut karena di situ diajari bahasa Arab dan Inggris. Belum lagi pendidikan lainnya seperti belajar berpidato. Ia masuk Pondok Pesantren Gontor pada 1957.

Ceritanya, ia tinggal sekamar bersama Masud Zakariya. Masud berasal dari Mojokerto dan mempunyai ilmu menyembuhkan orang kesurupan. Masud Zakariya sering mengajak Maftuh. Maftuh mau menerima ajakan Masud karena dipastikan bakalan mendapat makanan enak-enak dan lezat yang tidak ditemukan di pesantren. Karena seringnya menemani Masud, orang-orang kampung mengira bahwa Maftuh merupakan asisten Masud Zakariya.

Sistem penyembuhan yang dilakukan Masud Zakariya sederhana. Dia hanya menggunakan air putih sebagai sarana penyembuhan. Air itu ditaruh dalam gelas kemudian dibacakan doa dan dioleskan atau disemprotkan kepada orang yang mengalami kesurupan. Tidak lama, orang yang kesurupan pun akan tersadar dan kembali sehat seperti semula.

Maftuh mendampingi Masud Zakariya dalam aktivitas itu kurang lebih selama satu setengah tahun, sebelum akhirnya harus berpisah karena Masud mendapat beasiswa untuk meneruskan tugas belajar ke Mesir.

Setelah kepergian Masud ke Mesir, setiap orang kesurupan setelah acara Reog, Maftuhlah yang selalu dicari. Pasalnya, karena warga sekitar menganggapnya memiliki kemampuan sama seperti halnya Masud Zakariya. Karena tabib utama tidak ada, maka yang dicari kemudian adalah Maftuh, sang asistennya.

Satu kali Maftuh pernah dijemput untuk melakukan penyembuhan. Maftuh agak keberatan untuk hadir, karena tidak mengetahui secara pasti doa yang harus ia baca untuk mengobati orang kesurupan.

Dengan perasaan gamang, ia minta segelas air putih kemudian membaca Surat Fatihah dan Ayat Kursi dan air itu pun disemburkan ke arah pasien - seperti biasanya Masud melakukan. Atas kehendak Allah SWT, orang yang didoakan dan sembur air kembali tersadar, alias sehat walafiat seperti kondisi semula.

Bagi Maftuh, kemampuan mengobati orang kesurupan ini tidak membuatnya senang. Malah sebaliknya, ia khawatir dan malu, jika kemudian dianggap sebagai dukun yang memiliki kemampuan untuk menyembuhkan orang kesurupan. Tetapi, tidak lama setelah itu, ia kembali dijemput dan dimintai tolong untuk mengobati salah satu keluarga yang kesurupan.

Semula ia tidak bersedia untuk datang, karena merasa tidak yakin dapat menyembuhkan orang kesurupan. Karena dipaksa akhirnya ia pun berangkat memenuhi panggilan.

Ternyata, Maftuh akhirnya tidak lagi bisa menutupi kekhawatirannya. Setelah dua kali membaca Surat Fatihah dan Ayat Kursi serta menyemburkan air, orang yang kesurupan itu tidak mengalami perubahan. Menghadapi kenyataan ini, ia minta maaf kepada mereka dan minta waktu untuk pulang ke pondok serta berjanji akan melakukan ritual dan doa bersama kawan-kawan untuk kesembuhan pasiennya.

Sesampai di pondok pesantren, Maftuh gelisah dan khawatir jika suatu waktu dijemput kembali. Nyatanya kekhawatiran itu benar. Sekitar pukul 21.00 WIB mereka datang berbondong-bondong menuju barak pondok. Melihat hal tersebut, tidak berfikir panjang lagi, Maftuh menyelamatkan diri. Ia "kabur" dari pintu belakang dan bersembunyi di barak lain. Dari informasi seorang kawannya, ternyata pada saat itu mereka tetap menunggu di barak dan tetap berharap memperoleh bantuan untuk penyembuhan saudaranya.

Lantas, dengan hanya mengenakan pakaian seadanya yang melekat di badan, pagi hari usai sholat Subuh, Maftuh bergegas meninggalkan Pondok Pesantren Gontor Ponorogo menuju Yogyakarta.

Pengobatan kampung
Cara penyembuhan yang dilakukan Masud Zakariya hingga kini banyak dijumpai di kampung-kampung. Misalnya pada kasus kesurupan massal di sekolah. Nenek tua menyembur bayi yang dianggap sawan. Namun jika orang yang tidak mempunyai ilmu tersebut, tentu saja tak akan memberi kesembuhan pada orang kesurupan seperti yang dilakukan Maftuh.

Ilmu yang dimiliki Masud Zakariya dapat disebut sebagai maunah.

Maunah berarti pertolongan yang diberikan oleh Allah SWT kepada orang mukmin untuk mengatasi kesulitan yang menurut akal sehat melebihi kemampuannya. Orang yang mendapat maunah adalah orang yang biasa dan mampu menyembuhkan orang sakit berkat pertolongan Allah.

Ketika para santri belajar di ponpes, tentu akan bersingungan dengan materi pelajaran yang menyangkut kemampuan "lebih" yang dimiliki seseorang, yang kemudian dikenal sebagai mukjizat, karamah, maunah, dan Irhas.

Esensi dari mukjizat adalah sesuatu yang luar biasa sehingga manusia tidak mampu mendatangkan hal yang serupa. Mujizat berarti sesuatu yang luar biasa yang terjadi dalam diri nabi atau rasul Allah SWT. Mukjizat bertujuan untuk membuktikan kenabian atau kerasulan seorang nabi atau rasul Allah SWT yang tidak dapat ditiru oleh siapa pun.

Dalam berbagai literatur juga diungkap, dalam mukjizat harus ada unsur, antara lain berupa kejadian luar biasa, nampak pada diri seorang nabi, ada tantangan dari kaum yang menyangsikan kedudukan nabi. Mukjizat tak bisa ditandingi oleh manusia lain. Tentang contoh hal ini bisa dilihat dari kisah Nabi Ibrahim AS, Nabi Musa AS, Nabi Muhammad SAW, Nabi Silaiman AS, Nabi Isa, Nabi Musa dan lainnya.

Irhash adalah kejadian luar biasa atau hal-hal yang istimewa pada diri calon nabi atau Rasul ketika masih kecil. Contohnya, Muhammad SAW. Selalu dinaungi awan sehingga tidak kepanasan saat melakukan perjalanan dagang ke negeri Syam. Peristiwa yang terjadi pada diri Nabi Isa AS ketika beliau masih bayi dalam buaian ibunya, Maryam. Pada saat masih bayi, Nabi Isa dapat berbicara kepada orang-orang yang melecehkan ibunya.

Dalam terminologi Islam juga dikenal karomah. Tentang hal ini Imam Qusyairi menjelaskan, karomah merupakan tanda-tanda kebenaran sikap dan kelakuan seseorang.

Barang siapa yang tidak benar sikap dan kelakuannya, maka tidak dapat menunjukkan kekaromahannya. Dan Allah yang maha Qodim memberi tahu kepada umatnya agar membedakan orang yang benar dan mana yang batil.

Intinya, karomah merupakan kejadian yang luar biasa pada seseorang yang merupakan anugerah dari Allah karena ketaqwaanya.

Lalu bagaimana dengan bocah Ponari (mampu "menyembuhkan" seseorang dengan batu ajaib), ustadz Guntur Bumi (mampu "menyembuhkan" seseorang sambil "menilep" emas pasiennya), Aa Gatot Brajamusti (mampu "mengobati" dan mengatasi kekecewaan pasiennya dengan ajimat Asmat, yang disebut sebagai makanan jin),

dan Kanjeng Dimas Taat Pribadi (dapat melipatgandakan uang dalam jumlah "wah")?.

Semua jenis manusia ini memikat pengikut (santri) melalui pesona muslihat. Bahkan telah menjerumuskan orang lain menempuh jalan sesat.

Harusnya kaffah
Yang menarik adalah pembelaan "habis-habisan" dari tokoh intelekual sekelas Marwah Daud Ibrahim, pengurus Ikatan Cenderiawan Muslim Indonesia (ICMI) terhadap Dimas Kanjeng Taat Pribadi. Marwah yang juga memiliki putera Akmal Firdaus Ibrahim - santri Ponpes Gontor - seperti "terhipnotis" dengan kelebihan pada diri Taat Pribadi. Pembelaan irasional seperti itu juga terlihat pada diri penyanyi Reza Artamevia terhadap guru spiritualnya Aa Gatot Brajamusti.

Kasus Dimas Kanjeng Taat Pribadi terungkap setelah dua mantan santri yang menjadi orang dekatnya: Abdul Gani dan Ismail dibunuh yang diduga atas perintah ketua padepokan itu. Ismail dibunuh lantaran berniat membuka kedok Dimas Kanjeng yang mengantarkan peti berisi uang ke kediaman Marwah Daud.

Pengiriman uang tersebut oleh Dimas dimaksudkan untuk membuktikan dia memiliki kekuatan spiritual, atau secara gaib. Padahal uang tersebut dikirim melalui tangan manusia layaknya orang mengirim surat dengan tukang pos. Tentang ini, Marwah membantah pernah menerima uang dari Dimas secara gaib.

Namun Marwah menyakini Dimas memiliki "kelebihan" di bidang itu. Malah, ia menyebut, kejadian yang menimpa Dimas saat ini sebagai peristiwa fitnah dan harus dihadapi dengan lapang dada.

Ia pun menyemangati para santri padepokan di Dusun Cengkelek, Desa Wangkal, Kecamatan Gading, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Seolah Marwah tak menghiraukan lagi suara "minor" yang muncul saat ini. Bisa jadi karena Marwah kini tengah mengenakan "kaca mata kuda" sehingga rasionalitas hilang. Ia seolah membuta.

Bisa pula terjadi Marwah sedang menghindar atau mengelak dari jeratan hukum. Sebab, ia sudah lama mengetahui prilaku Dimas Kanjeng yang irasional tersebut. Marwah harusnya melapor kepada pihak berwajib tentang praktek penggandaan, atau pengadaan uang. Patutnya pula Marwah belajar kepada puteranya, yang pernah dididik di Ponpes Gontor sejak awal, sebelum ikut-ikutan menjadi pengurus di padepokan Dimas Kanjeng.

Belajar agama penting dilakukan secara komprehensif (kaffah). Menjadi intelektual muslim memang harus diiringi terus menerus dengan belajar sungguh-sungguh sehingga tidak mudah diajak sesat. Tidak mudah diperdaya, karena berhala berselimutkan agama makin kuat menggoda umat.

Oleh Edy Supriatna Sjafei
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016