Jakarta (ANTARA News) - Kalangan analis menilai bahwa kebijakan penurunan tarif interkoneksi telah memicu terjadinya perang tarif layanan antaroperator telekomunikasi.

"Meski perang tarif ini hanya berlaku di wilayah luar Jawa, namun fenomena ini dampak dari kebijakan pemerintah yang segera merevisi PP 52/53 tahun 2000 tentang penyelenggaraan telekomunikasi dan penggunaan spektrum radio dan orbit satelit," kata analis dari Bahana Securities, Leonardo Henry Gavaza CFA, di Jakarta, Kamis.

Menurut catatan, dua operator telekomunikasi Indosat dan XL telah menurunkan tarif percakapan ke semua operator.

Indosat sejak pertengahan tahun 2016 memasang tarif panggilan dengan program Rp1 per detik, sedangkan XL pada pekan ini merilis program Rp59 per menit.

"Perang tarif kali ini mirip dengan yang terjadi pada 2007 dan 2008. Dulu adu murah hanya untuk panggilan pada jaringan yang sama atau sesama operator (on net), namun sekarang tarif murah ditawarkan untuk percakapan antaroperator (off net)," ujarnya.

Sementara itu, Chief Economist Danareksa Research Institute, Kahlil Rowter menilai, adu murah tarif telekomunikasi yang dilakukan Indosat dan XL merupakan strategi untuk mendapatkan pelanggan baru di suatu wilayah.

Meski tarif murah ini sekilas akan menguntungkan konsumen, namun jika perang tarif terus dilakukan dalam jangka waktu yang lama dan masif, Kahlil memastikan akan ada operator yang mengalami kerugian.

Jika dikalkulasikan, sekilas perang harga yang dilakukan Indosat dan XL akan membawa keuntungan bagi konsumen karena pengguna akan mendapatkan harga yang lebih murah dari penyelenggara jasa telekomunikasi.

Namun, untuk jangka panjang, operator yang melakukan perang harga akan kembali menaikkan harga untuk menutup kerugian sebagai dampak dari perang harga yang dilakukan.

Dengan kondisi seperti ini, nantinya harga layanan telekomunikasi dari operator yang melakukan perang harga tersebut bisa menggalami kenaikan.

Kahlil berpendapat, saat ini yang dibutuhkan konsumen adalah harga telekomunikasi yang terjangkau dan stabil. Bukan harga yang murah-murahan yang nantinya justru akan mengorbankan kepentingan konsumen.

"Jadi perang harga tidak otomatis menguntungkan konsumen. Perang tarif justru berpotensi memperdaya konsumen," ujar Kahlil.

Pewarta: Royke Sinaga
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016