Pascakrisis ekonomi Indonesia yang telah memasuki usia satu dekade, ternyata hanya Propinsi Banten dan Propinsi Jawa Barat (Jabar) yang mampu menunjukkan performa baik dalam menarik PMA (FDI) selama tahun 2001-2006. Sedangkan propinsi lainnya di Jawa belum menunjukkan performa baik, kalah dibandingkan dengan beberapa propinsi di luar Jawa. Bahkan DKI Jakarta, Jawa Tengah (Jateng), dan Jawa Timur (Jatim) berada di peringkat rendah. Walaupun begitu, secara regional, Jawa berada di posisi teratas dalam menarik PMA, yang pemeringkatannya berdasarkan Regional Investment Performace Index (RIPI). Pada 2006, Banten berada di peringkat pertama dalam menarik PMA dan selama 2001-2006 selalu berada di peringkat atas serta lima kali di posisi peringkat pertama. Secara metodologi, RIPI adalah rasio regional investment size (RIS) dan regional economic size (RES). RIS merupakan ukuran kemampuan relatif regional dalam menarik investasi secara nasional. Sedangkan RES adalah ukuran kemampuan ekonomi regional relatif secara nasional. RIPI nilainya harus lebih besar dari nol. Bila RIPI kurang dari satu berarti performa tidak baik karena investment size lebih rendah daripada economic size dan bila RIPI lebih dari satu berarti performa baik karena investment size lebih tinggi daripada economic size. Semakin tinggi RIPI semakin baik performa investasi, karena hal itu menunjukan semakin tinggi kemampuan regional menarik investasi. Metode ini cukup baik menjelaskan kemampuan dan posisi daerah dalam menarik investasi ke daerahnya relatif terhadap kekuatan ekonomi daerahnya secara nasional. Karena aliran investasi nominal yang besar belum tentu menunjukkan performa daerah yang baik. Perfoma yang baik apabila investment size lebih besar daripada economic size. Metode indeks seperti ini biasa digunakan oleh UNCTAD (Lembaga PBB untuk Perdagangan dan Pembangunan) untuk memeringkat negara dalam FDI inflow. Rating dan pemeringkatan ini menggunakan data sekunder yang berasal dari BKPM, BPS, dan BI. Data investasi adalah data realisasi investasi versi BKPM yang dilaporkan berdasarkan Izin Usaha Tetap PMA tahun 2001-2006. Data Produk Domestik Bruto (PDB) diperoleh dari BPS dan BI. BKPM mengeluarkan data realisasi investasi di 31 propinsi. Propinsi Sulawesi Barat dan Irian Jaya Barat tidak termasuk. Dalam analisis ini dimasukkan juga performa investasi PMA di Kawasan Barat Indonesia (KBI) yang terdiri dari P. Sumatera, P. Jawa, dan P. Bali, dan sisanya Kawasan Timur Indonesia (KTI). Rating dan Peringkat Dengan RIPI sebesar 3.0514, Banten berada di peringkat pertama, disusul oleh Jabar di peringkat kedua dengan RIPI sebesar 2.3555. Artinya, Banten mempunyai kemampuan menarik PMA sebesar 205,14 persen lebih tinggi daripada kekuatan ekonomi regionalnya. Sedangkan kemampuan Jabar menarik PMA sebesar 135,55 persen lebih tinggi daripada kekuatan ekonominya secara nasional. Selanjutnya juga terlihat, pada 2006, hanya delapan propinsi yang performa PMA-nya terbaik. Peringkat ketiga dan seterusnya diduduki oleh Jambi (2.1964), Bali (1.6643), Kalimantan Timur (1.5110), Kalimantan Selatan (1.3950), Lampung (1.1454), dan Riau (1.0432). Dengan metode RIPI juga bisa diketahui, secara regional, hanya Jawa-lah region yang selalu memiliki performa terbaik dalam menarik PMA. Pada 2006, hanya Jawa dan Kalimantan yang memiliki performa PMA terbaik, dengan RIPI masing-masing 1.2706 dan 1.1968. Sedangkan region lainnya, Sumatera, Bali dan Nusa Tenggara, Sulawesi, Irian, dan Maluku memiliki performa tidak baik dalam menarik PMA. Posisi Banten dan Jabar terbaik menunjukkan kemampuan kedua daerah menarik PMA masing-masing lebih besar daripada daerah lainnya. Selama tahun 2001-2006, performa propinsi yang baik dalam menarik PMA yang konsisten hanya Banten dan Jabar yang selalu memperoleh RIPI di atas satu. Sedangkan propinsi-propinsi lainnya di Jawa, masih kalah dengan propinsi-propinsi di luar Jawa. Khusus DKI Jakarta, mestinya menunjukkan performa FDI terbaik mengingat economic size dan aliran PMDN-nya termasuk tertinggi dari seluruh propinsi. Faktanya, pada tahun 2006, DKI Jakarta hanya berada di peringkat 10 dengan kategori performa kurang baik karena RIPI hanya 0.9349. Artinya, kemampuan DKI Jakarta menarik PMA lebih rendah 6,51 persen daripada kekuatan ekonominya secara nasional. Posisi DKI Jakarta pada tahun 2006 turun drastis dari tahun sebelumnya. Selama tahun 2001-2005, posisi DKI Jakarta selalu dalam tiga besar, bahkan pada tahun 2003 berada di peringkat pertama dengan RIPI 3.1605. Jadi kemampuan DKI Jakarta turun sangat drastis dalam menarik PMA pada tahun 2006. Jawa Tengah dan Jawa Timur juga termasuk kategori performa PMA yang rendah. Pada tahun 2006, Jateng dan Jatim berada di peringkat 10 dan 14, dengan rating masing-masing 0.9132 dan 0.4943, jauh di bawah Jambi, Bali, Kaltim, dan Kalsel. Posisi Jambi melonjak cukup tajam pada tahun 2006, padahal selama 2001-2005 posisi Jambi selalu rendah. Naiknya peringkat Jambi menunjukkan adanya perbaikan yang cukup signifikan karena kemampuan menarik PMA sebesar 119,64 persen lebih tinggi daripada kekuatan ekonomi regionalnya secara relatif terhadap nasional. Berbeda dengan Gorontalo, pada tahun 2005, mampu menempati peringkat pertama dengan RIPI sebesar 5.7951, tapi pada tahun 2006 anjlok di posisi 31. Hal ini bisa menjadi petunjuk turunnya kualitas manajemen pemerintahan dan pembangunan Gorontalo sehingga posisinya anjlok sangat drastis. Demikian juga halnya Bengkulu, pada tahun 2001 sempat berada di posisi kelima, kemudian anjlok pada tahun berikutnya. Peringkat DKI Jakarta dan Jawa Barat serta beberapa propinsi lainnya di Jawa, seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, yang rendah patut dicermati karena bukan saja aktifitas ekonomi yang tinggi terjadi di wilayah tersebut tetapi juga aksesibilitas juga tinggi. Semestinya, daerah tersebut menempati posisi teratas dalam kemampuan menarik investasi, mengalahkan propinsi lainnya. Berarti pula berbagai hambatan yang lebih besar di propinsi-propinsi tersebut yang menyebabkan performa investasi PMA-nya rendah. Pemda belum sepenuhnya mampu menggerakkan sumberdaya dan kekuatan ekonomi daerah dalam menarik investasi. Selain sembilan besar propinsi tersebut di atas, beberapa propinsi di Sumatera yang notabene berada dalam KBI, antara lain Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, dan Lampung, juga menduduki peringkat rendah. Daerah-daerah tersebut berada di KBI yang kondisi infrastruktur dan aksesnya lebih baik daripada Kalimantan, Nusa Tenggara, Papua, dan Maluku. Meskipun aliran investasi nominal jauh lebih tinggi daripada propinsi di KTI, tapi investment sizenya lebih rendah daripada Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Sementara propinsi lainnya, khususnya di KTI yang menduduki posisi rendah, termasuk wajar mengingat dukungan infrastruktur yang rendah dan akses yang rendah pula. Disparitas Apakah aliran investasi nominal yang lebih cenderung masuk ke Pulau Jawa dapat mencerminkan kemampuan riil regional tersebut? Hal ini patut dipertanyakan mengingat Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) propinsi di Jawa yang paling tinggi, ketersediaan infrastruktur yang lebih baik dari wilayah lainnya, serta jumlah penduduk yang banyak seyogianya mencerminkan kemampuan yang lebih tinggi propinsi di P. Jawa dalam menarik investasi. DKI Jakarta, Jawa Timur, dan Jawa Barat saja menyerap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia sebesar 45,2 persen per tahun selama tahun 2001-2006. Secara regional, Jawa saja sudah menyerap lebih separoh PDB Indonesia, mencapai rata-rata 57,9 persen dari PDB per tahun. Artinya, economic size atau kemampuan ekonomi propinsi di Jawa sangat tinggi dibandingkan yang lain. Mestinya, propinsi yang ada di Jawa harus mampu mengalahkan propinsi di luar Jawa dalam menarik PMA. Arus investasi PMA (FDI inflow) Indonesia selama tahun 2001-2006 berkisar 3,51-8,9 milyar dolar AS dengan rata-rata per tahun sebesar 5,04 milyar dolar AS. Ternyata, aliran FDI tersebut terkonsentrasi di tiga propinsi, yakni DKI Jakarta 15,6-51,7 persen atau rata-rata 32,4 persen per tahun, Jawa Barat 16,4-32,1 persen atau rata-rata 26,6 persen per tahun, dan Banten 7,3-20,1 persen atau rata-rata 11,4 persen per tahun. Sisanya tersebar di 30 propinsi lainnya. Dengan kata lain, investment size FDI di tiga propinsi tersebut sudah mencapai lebih dari 70 persen. Secara regional dan kawasan juga terjadi konsentrasi. Jawa dan Sumatera menyerap FDI masing-masing 78,1 persen dan 14 persen per tahun. Dari sisi kawasan, KBI menyerap 90,1-97,4 persen atau rata-rata 93,2 persen per tahun, jauh lebih besar daripada serapan KTI, sebesar 9,9-2,6 persen atau rata-rata 6,8 persen per tahun. Pola kekuatan ekonomi dan pola aliran FDI ini menunjukkan terjadinya disparitas FDI (regional FDI inflow disparities), tidak hanya antar propinsi. Dengan fakta di atas dapat dikatakan daerah yang mempunyai economic size yang tinggi tapi investment size rendah tidak efisien dalam pengelolaan wilayahnya untuk menarik investasi. Ketakefisienan daerah ini tentunya berpengaruh pada perekonomian nasional karena Jawa dan Bali merupakan daerah yang selalu mendapat perhatian besar dalam pembangunan sehingga kebijakan Pemerintah Pusat selalu bias regional terhadap wilayah tersebut. Hambatan Investasi Persoalan mendasar yang menjadi penentu kemampuan menarik investasi ke Indonesia adalah iklim investasi dan bisnis yang tidak kondusif. Dari berbagai survei nasional dan internasional menyangkut bisnis dan ekonomi, Indonesia selalu berada pada posisi yang rendah dibandingkan dengan negara-negara lain dunia. Kalaupun ada aliran investasi ke Indonesia belum menyentuh bidang usaha yang menjadi andalan perekonomian dan masih terlihat dunia usaha lebih menyukai pusat operasinya di Jawa dan Bali. Faktor lingkungan yang menjadi penghambat investasi multidimensi, yakni penegakan hukum, keamanan, birokratisasi dan regulasi, pertanahan, premanisme, dan infrastruktur. Menurut para investor, faktor-faktor tersebut di atas sangat lemah sehingga kebanyak investor masih menunggu upaya nyata Pemerintah RI mengatasinya. Dengan demikian, pola investasi PMA yang terjadi selama ini belum menjamin perbaikan perekonomian daerah dan nasional bahkan berpotensi untuk meningkatkan kesenjangan antar daerah bila pola tersebut terjadi terus-menerus. Oleh karena itu, para Kepala Daerah dan DPRD hendaknya bersatu padu dalam memperbaiki iklim investasi di daerah masing-masing. Selama ini, dari pernyataan para pemimpin pemerintahan dan parlemen, kebijakan pembangunan dan pemerintahan daerah seolah-olah pro-investasi, tapi prakteknya anti-investasi. Contohnya, perijinan daerah dibuat adalah dalam rangka menarik pendapatan asli daerah (PAD) sebesar-besarnya. Padahal perizinan adalah untuk memenuhi azas legalitas. Untuk itu harus ada perubahan paradigma pembangunan daerah disertai kebijakan daerah yang pro-investasi. Bila perlu semua pemimpin daerah memposisikan dirinya dalam kondisi kompetisi tidak hanya dengan daerah lainnya, juga dengan negara lain.(*) *) Dosen STIE Perbanas dan Expert Group CBES, Jakarta

Oleh Oleh DR Johnny W. Situmorang *
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007