Berlin (ANTARA News) - Iri hati boleh jadi menyelinap di lubuk hati sejumlah negara Eropa Daratan dengan masuknya tiga tim sepak bola Inggris dari empat tim yang berlaga dalam babak semi-final Liga Champions. Italia, Spanyol atau Jerman sebenarnya tidak perlu menyimpan perasaan rendah diri, bahkan mengalami "inferiority complex". Sekurang-kurang mereka yakin pada peribahasa kuno yang mengatakan bahwa meniru merupakan bentuk asali dari kepalsuan, demikian laporan Reuters. Tanpa menyepelekan ketatnya kompetisi di Eropa, masuknya tiga tim Inggris bersama dengan AC Milan ke babak semifinal agaknya berbeda dengan gaya sesungguhnya dari sepakbola Eropa. Baik Manchester United maupun Chelsea bertaburan dengan para pemain bintang. Liverpool dengan satu atau dua pemain yang terbilang profesional. Ambil contoh Manchester United. Ketika United dikalahkan Real Madrid pada 2002 dan 2003, manajer Sir Alex Ferguson tak kuasa menyatakan kekagumannya atas para pemain Spanyol. "Mereka memikat kita dengan kemampuan mengontrol dan mengumpan bola," kata Ferguson pada 2003. Kemudian ia mencoba untuk membangun sebuah tim dengan tingkat kemampuan yang relatif merata. Pemain diharapkan dapat menggempur pertahanan lawan dengan kecepatan, ketepatan mengumpan dan memiliki kemampuan berpikir yang ekstra bahkan mendekati genius. Ketika United menggulung AS Roma dengan skor 7-1 pada pertandingan Selasa pekan lalu, permainan United mirip dengan sebuah karya seni tingkat tinggi. Cristiano Ronaldo dan Wayne Rooney tampil sebagai pemain-pemain bintang dari tim Ferguson. Pelatih asal Skotlandia ini memerhatikan kualitas tim secara ekstensif. Ini berbeda dengan Real Madrid. Dan jangan lupa bahwa asisten pelatih United juga dipegang oleh Carlos Queiroz dari Porugal. Dengan demikian, United sekarang ini tampil sebagai tim hasil polesan dari mereka yang berkecimpung dalam sepak bola Latin. Kemudian baik juga menemukan inspirasi dari Chelsea dan Liverpool. Chelsea di bawah pelatih asal Portugal, Jose Mourinho kini mirip dengan tim Inter Milan yang diasuh oleh Helenio Herrera. Waktu itu Milan keluar sebagai juara Piala Eropa pada 1964 dan 1965. Seakan hendak meniru masa jaya Inter, Chelsea tampil dengan memainkan pola permainan yang ketat di lapangan tengah. "Full back" dimungkinkan untuk menyerang. Mereka secara fisik tampil sebagai pemain yang andal. Para pemain terbantu dengan kemampuan manajer yang terampil memotivasi dan menerapkan taktik yang jitu di lapangan. Chelsea tidak selalu mulus dalam meraih apa yang dicita-citakan. Kemenangan 2-1 atas Valencia, lebih merupakan hasil dari tingkat konsentrasi yang tinggi dari pemain sekaliber Michel Essien. Memilih posisi "underdog" Liverpool tidak banyak memiliki pemain kelas dunia. Mereka agaknya lebih memilih untuk menjadi "underdog". Di bawah pelatih Spanyol, Rafa Benitez, Liverpool meraih Piala Eropa untuk kelima kalinya pada tahun 2005. Ini berkat peran dari Steven Gerrard yang terus berjuang di lapangan. Liverpool agaknya lebih mirip dengan Borrusia Dortmund yang mengandaskan Juventus pada babak final tahun 1997. Mathias Sammer dan Karl-Heinz Riedl disamai rekornya oleh Gerrard dan Peter Crouch yang telah mencetak enam gol dalam musim ini. Inilah kali pertama dalam tahun belakangan bahwa ada tiga tim dari satu negara yang mencapai babak semifinal. Klub-klub Spanyol pernah mendominasi pada 2000 dan klub-klub Italia pada tahun 2003. Sukses dari tim-tim Inggris memeroleh sambutan hangat dari sejumlah media asing, terlebih dengan penampilan gemilang United mengalahkan Roma. El Pais, sebuah harian di Spanyol menyebut penampilan United sebagai "pertunjukan yang komplet". Sementara harian Jerman "Bild", menyatakan Ferguson begitu perkasa, sama seperti tahun 1999 ketika mengalahkan Bayern Munich dalam sebuah pertandingan yang luar biasa. Di Prancis, hegemoni liga Inggris disebut oleh harian "L`Equipe" dengan menulis "Eropa kini telah berbahasa Inggris". (*)

Copyright © ANTARA 2007