Jakarta (ANTARA News) - Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) meminta pemerintah menutup keran ekspor produk perikanan selama 10-15 tahun ke depan karena terus melonjaknya permintaan dalam negeri dan makin menipisnya potensi perikanan di laut lepas. Menurut M Riza Damanik, Manager Kampanye Pesisir dan Laut, Eksekutif Nasional Walhi di Jakarta, Senin, kebijakan itu perlu diambil karena kebutuhan ikan nasional dalam kurun lima tahun terakhir melonjak hingga lebih dari 1,2 juta ton. Di sisi lain, tangkapan nelayan di banyak tempat, seperti perairan Bitung-Sulawesi Utara, Tanjung Balai-Sumatera Utara, Bengkalis-Riau, Teluk Lampung, terus menurun, sehingga bahan baku industri perikanan makin berkurang. Turunnya tangkapan nelayan ikan ini, kata Riza, juga membuat empat industri perikanan di Sulawesi Utara terpaksa menghentikan aktivitas produksinya akibat kelangkaan bahan baku tahun lalu. Yang lebih mengkhawatirkan, katanya, spesies ikan tertentu, seperti ikan terubuk di Kepulauan Bengkalis, Riau, hilang karena terus ditangkapi. Melihat pada kondisi itu, menurut dia, "Penghentian aktivitas ekspor produk perikanan perlu segera dilakukan. Akumulasi krisis ikan Indonesia ini dalam 10 tahun ke depan diyakini akan menghancurkan sumberdaya perikanan secara total." Diakuinya Indonesia pada 2004 saja mampu memperoleh devisa lebih dari 1,7 juta dolar AS dari sektor perikanan, namun devisa itu harus dibayar dengan mengekspor sekitar satu juta ton ikan. Menurut dia, krisis perikanan tidak hanya menjadi trend nasional karena badan pangan PBB (FAO) memperkirakan total permintaan ikan dunia dan produk perikanan akan terus meningkat. Pertumbuhan penduduk dunia yang mencapai 1,8 persen per tahun dan meningkatnya konsumsi ikan dunia yang sudah mencapai 19 kg per kapita per tahun membuat kebutuhan ikan dan produk perikanan sampai 8 tahun ke depan mencapai 50 juta ton. Sementara itu, ketersediaan sumber daya perikanan global mengalami defisit hingga 9-10 juta ton per tahun. Untuk menyelamatkan sektor perikanan nasional, Riza meminta peran negara lebih dikuatkan melalui pemberantasan aktivitas perikanan illegal, seperti pelanggaran administratif, pelanggaran jalur penangkapan, dan pemakaian alat tangkap destruktif. Menurut dia, hasil verifikasi Dirjen Perikanan DKP (Maret 2006) menunjukkan, 94 persen tanda peralihan kepemilikan kapal (deletion certificate) yang berhasil diverifikasi adalah palsu. Akibat praktik perikanan illegal, sedikitnya 1,5 juta ton per tahun ikan diangkut dari perairan Indonesia. "Pemerintah harus lebih gencar dalam memerangi praktik `illegal fishing` yang merugikan negara sekitar Rp3,5-Rp4,4 miliar per tahun." Di sisi lain, pemerintah juga harus terus memperbaiki mekanisme perijinan, pengawasan, dan sistem peradilan perikanan berlandas pada sikap profesional dan transparansi. Walhi memperkirakan tahapan krisis ini dimulai dengan makin sukarnya menemukan spesies ikan tertentu di pasaran, lokal maupun global. Selain itu juga, kenaikan harga ikan yang melebihi ambang normal. Karena itu, pemerintah dalam jangka pendek harus fokus pada upaya pemenuhan kebutuhan nasional, sembari melakukan rekalkulasi atas sumber daya perikanan yang masih tersisa.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007