Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah perlu membuat aturan yang memuat aturan "recall" (penarikan kembali) produk otomotif yang mengalami cacat produksi guna melindungi konsumen, dan memudahkan produsen dalam melakukan perbaikan produk otomotif yang ditarik. Masalah tersebut muncul dalam diskusi mengenai "Kampanye 'Recall' di Indonesia. Siapa Berkepentingan?" yang dihadiri perwakilan Departemen Perhubungan, Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), dan kalangan Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM) otomotif, di Jakarta, Kamis. "BPKN sebagai lembaga yang dibentuk untuk memberi rekomendasi kepada pemerintah mengenai perlindungan konsumen perlu membuat surat kepada Presiden untuk membuat aturan `recall`," kata Direktur YLKI, Indah Sukmaningsih. Ia mengatakan, peraturan "recall" dinilainya sangat penting untuk melindungi konsumen di dalam negeri atas produk otomotif yang bermasalah setelah dipakai beberapa waktu. Indah mencontohkan, di beberapa negara maju, pengumuman "recall" kendaraan bermotor justru dilakukan oleh pemerintah, entah itu di bawah kementerian transportasi atau kementerian yang melindungi kepentingan konsumen. "Di Indonesia, konsumen otomotif tidak tahu kemana harus mengadu," ujarnya. Ketua Komisi BPKN, Eni Suhaeni, mengakui bahwa saat ini belum ada ketentuan yang mengatur mekanisme "recall" otomotif. Payung hukum perlindungan terhadap konsumen baru sebatas Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang diluncurkan pada tahun 2000. "Dalam jangka panjang kita memang memerlukan aturan tersebut, tapi tidak sekarang. Aturan itu terkait mekanisme `recall`, ganti rugi terhadap konsumen, dimana konsumen harus tidak dikenakan biaya atas perbaikan mobil yang di-recall, dan harus mencakup konsumen di seluruh Indonesia, bahkan yang jauh dari pusat, seperti Papua," ujarnya. Eni juga mengemukakan, saat ini "recall" otomotif lebih pada insiatif produsen saja. Karena itu, ia menghargai produsen otomotif seperti Honda yang mengumumkan "recall" secara terbuka dan tidak mengenakan biaya kepada konsumennya. Pengamat Otomotif, Soehari Sargo, mengatakan bahwa kecenderungan di masa mendatang adalah produsen otomotif di Indonesia akan semakin bertanggung jawab terhadap produk otomotif yang dipasarkannya, dan mengumumkan "recall" secara terbuka, karena tekanan dari prinsipal (pemegang merek). "Dulu memang `recall` dilakukan secara diam-diam, karena jumlah mobil masih sedikit, tapi ke depan dengan jumlah mobil yang semakin banyak maka tidak mungkin lagi `recall` dilakukan secara tersembunyi," katanya. Kalangan produsen otomotif sendiri, baik Presdir Grup Indomobil, Gunadi Sindhuwinata, dan GM Pemasaran dan Penjualan PT Honda Prospect Motor (HPM), Jonfis Fandi, menilai bahwa pemerintah tidak perlu membuat badan baru yang mengurusi "recall", karena "recall" bukan hal baru dalam bisnis otomotif. Namun, mereka setuju ada aturan mengenai "recall". Pada 27 Maret 2007 untuk pertama kalinya PT Honda Prospect Motor mengumumkan "recall" sekitar 16.000 mobil Honda Jazz, Accord, dan Oddesy yang dibeli Maret 2005 sampai Maret 2006 untuk diperbaiki sistem "relay"-nya tanpa dikenakan biaya. Hal itu menimbulkan pro kontra antara kekhawatiran citra merek yang menurun dan promosi adanya jaminan purnajual. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007