Canberra (ANTARA News) - Pemilik Studio "Sanggar Batik/Tari Indonesia" di Canberra, Isti Monfries, mengatakan ia akan tetap menjadi duta budaya Indonesia di Australia dan menurunkan segenap kemampuan dan keahlian menari dan membatiknya kepada siapa saja yang ingin belajar. Selain itu, Isti yang bersuamikan mantan diplomat Australia yang kini dosen di Universitas Nasional Australia (ANU), John Monfries, ini mengemukakan dirinya akan tetap mempertahankan status kewarganegaraan Indonesianya hingga kapan pun. "Saya sudah berpuluh tahun mengajar tari dari berbagai provinsi di Tanah Air. Hingga kini, sudah lebih dari empat puluh macam tarian saya ajarkan kepada siapa saja yang mau belajar, khususnya anak-anak Indonesia yang menetap di Canberra," katanya kepada ANTARA, di sela kegiatannya mendampingi tiga aktivis perempuan Muslim Indonesia yang sedang berkunjung ke Canberra, Selasa. Dikatakannya kendati sudah lama hidup berumah tangga dengan suaminya yang warganegara Australia, ia masih tetap mempertahankan status kewarganegaraan Indonesianya dan puas dengan "paspor hijau" (WNI). Sebelum menetap di Canberra, kata begawan tari yang berguru dengan para pengajar tari Keraton dan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta sejak kecilnya itu, dirinya telah mengajarkan sedikitnya 40 tarian tradisional Jawa, Sumatera, Kalimantan, Bali dan daerah-daerah lain di Tanah Air dan teknik membatik kepada ratusan orang di negara-negara tempat suaminya pernah ditugaskan. "Ya murid saya sudah ratusan orang. Saya secara intens mengenalkan dan mengembangkan budaya Indonesia sejak 1979. Tidak hanya di Australia, tetapi juga di negara-negara tempat suami saya pernah ditugaskan, yakni Indonesia, Korea Selatan, Papua New Guinea, Filipina, Brunei, dan Belanda," katanya. Isti mengatakan sebelum bertemu suaminya di Yogyakarta tahun 1970-an dan terjun menjadi "sukarelawan" budaya Indonesia, ia pernah menjadi atlet yang memecahkan rekor dasa lomba tahun 1960-an. Kudeta Partai Komunis Indonesia (PKI) tahun 1965 mendorong dirinya untuk ikut bergabung dengan para aktivis KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) untuk mengganyang PKI. Karena keterlibatannya dalam gerakan KAMI itu, ia kemudian mengenal sejumlah aktivis Angkatan 66, seperti Gunawan Mohamad dan Nono Anwar Makarim, katanya. "Setelah aksi-aksi KAMI mereda, saya sempat melakukan kerja sosial di daerah-daerah kantong kemiskinan di Jawa," kata guru tari yang sanggar tarinya pernah dikunjungi Perdana Menteri John Howard dan menerima surat ucapan terima kasih dari orang nomor satu di pemerintahan Australia itu atas jasanya yang besar dalam bidang budaya. Terkait dengan peran Isti dan anak asuhannya dalam mendukung misi diplomasi Indonesia, Minister Counsellor/Penerangan KBRI Canberra, Raudin, mengatakan Isti sangat berperan, termasuk dalam acara fashion tunggal Desainer Adji Notonegoro di Canberra, 4 Mei mendatang. "Anak-anak asuhan Ibu Isti akan nampil dalam acara itu," katanya. Isti dan anak-anak asuhan sanggar tarinya juga ikut dalam misi kunjungan kerja mantan Dubes RI untuk Australia dan Vanuatu, Imron Cotan, ke Vanuatu dua tahun lalu. (*)

Copyright © ANTARA 2007