Jakarta (ANTARA News) - Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengharapkan perjanjian ekstradisi yang akan ditandatangani Pemerintah RI dan Singapura bisa berlaku surut sehingga dapat menjerat para koruptor di era Soeharto. "Draft sampai sekarang saya belum baca, tetapi kira-kira lebih dari lima tahun (berlaku surutnya). Pokoknya, zaman Soeharto bisa kena," katanya menjawab wartawan usai rapat kabinet terbatas di Kantor Presiden, Selasa. Perjanjian ekstradisi dan kerjasama pertahanan antara RI dan Singapura rencananya ditandatangani di Istana Tampak Siring, Bali, 27 April 2007, oleh para menteri terkait, disaksikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan PM Singapura Lee Hsien Loong. Menurut Jaksa Agung, pemerintah memang sejak awal mengharapkan ada jangka waktu mundur yang diperhitungkan agar dapat menjerat para koruptor masa lalu termasuk kasus BLBI. Dengan akan ditandatangannya perjanjian itu pemerintah berharap akan lebih mudah menjerat koruptor yang lari ke Singapura. "Kita berharap semua koruptor yang lari itu kembali," katanya, seraya menambahkan, dengan perjanjan itu Singapura punya kewajiban untuk mengembalikan tersangka koruptor yang lari ke sana. Namun, ia mengakui, hal itu tidak mudah. "Jangan-jangan waktu kita berunding, mereka sudah lari keluar dari Singapura duluan," kata Abdul Rahman Saleh. Di tempat yang sama Menkum HAM Hamid Awalloedin menyambut baik rencana penandatanganan perjanjian ekstradisi itu. "Harapan kita bagus sekali, karena itu sudah lama kita tunggu. Karena itu menyangkut penegakan hukum dalam negeri kita," ujarnya. Hamid berharap ada banyak tindak pidana kejahatan yang dicakup dalam perjanjian ekstradisi itu sehingga pelakunya bisa dipulangkan ke Indonesia. Menlu Hassan Wirajuda mengatakan perjanjian ektradisi itu menyangkut sebanyak 42 tindak pidana. "Ada sekitar 42 tindak pidana yang masuk. Tentu dengan ekstradisi berarti ada kerjasama kedua negara agar mereka yang terlibat dalam tindak pidana itu bisa dikirim atau dipulangkan kembali," katanya. Tentang data koruptor dari Indonesia di Singapura, Menlu mengatakan kedua negara belum membicarakan tahap-tahap implementasi. "Kita baru tahap menyepakati perjanjian yang bagus untuk segala kebutuhan kita dan kepentingan bersama, kita belum bicara siapa dan bagaimana, tetapi kita berupaya maksimal agar perjanjian itu memadai untuk kepentingan kita," katanya.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007