Kuala Lumpur (ANTARA News) - Wakil Duta Besar RI untuk Malaysia A Mohamad Fachir membantah bahwa pemerintah Indonesia atau KBRI Malaysia tidak membela warga negara Indonesia (WNI) di pengadilan. "Persoalannya adalah pemerintah atau kepolisian Malaysia tidak pernah memberikan informasi kepada KBRI jika ada WNI yang ditahan, ditangkap karena diduga melakukan kriminal. Pembelaan itu sudah harus diberikan pada saat di kepolisian," kata Mohamad Fachir, di Kuala Lumpur, Rabu. Oleh karena itu yang perlu didorong adalah kesepakatan bilateral mengenai Mandatory Consuler Notification (MCN) yang mengatur kerjasama dalam penanganan warga negara lain yang dituduh melakukan tindakan kriminal. Menurut dia, Departemen Luar Negeri dan pemerintah Indonesia sudah lama menyampaikan draf tersebut kepada pemerintah Malaysia tetapi hingga saat ini belum ada tanggapan. Dengan adanya kesepakatan MCN itu diharapkan, pemerintah Malaysia segera melaporkan bila ada WNI yang ditahan, satu atau dua kali 24 jam, setelah ditangkap agar kedutaan bisa segera memberikan pelayanan. "KBRI Malaysia telah mempunyai pengacara Malaysia sendiri yang bisa memberikan nasehat-nasehat hukum hingga pembelaan di pengadilan," katanya. Tapi selama ini, KBRI baru diberitahu setelah terdakwa WNI masuk ke pengadilan karena tidak mampu membayar pengacara. Selain itu, KBRI diberi informasi ketika terdakwa WNI akan dijatuhi vonis hukuman. "KBRI memang memiliki alokasi anggaran untuk membela WNI di bidang hukum tapi terbatas. Begitu pula dengan sumber daya manusia. Oleh karena itu, kami membuat skala prioritas. Jika tuntutan berat seperti hukuman mati mungkin akan menjadi prioritas," katanya. Dengan pembentukan Satgas Pelayanan dan Perlindungan terhadap WNI di KBRI saat ini sudah sangat membantu. "Kami kemarin berhasil meminta perusahaan pengerah tenaga kerja Indonesia untuk membayar pengacara karena ada lima TKI membunuh majikannya karena kesal gajinya tidak dibayar-bayar. Sudah bicara baik-baik, keras sedikit tidak didengar akhirnya dibunuh. Pengusaha yang mengirim lima TKI itu bersedia membayar pengacara," kata Wakil Dubes RI itu. Ditambahkan, banyak pula majikan di Malaysia yang tidak membayar pembantu rumah tangga (PRT) asal Indonesia. Begitu mereka mengadu, kami desak majikannya, sebagian besar majikan akhirnya bersedia membayarkan gaji PRT. Dalam Satgas KBRI ada beberapa anggota Polri. Mohamad Fachir, mantan penerjemah presiden Megawati itu, kemudian mengungkapkan jumlah personil KBRI dan jumlah WNI yang harus dilayani. Seluruh pegawai KBRI dan konsulat Jenderal di Malaysia ada 241 orang, sedangkan jumlah TKI di Malaysia, menurut Imigrasi Malaysia tahun 2006, mencapai 1.174.013 orang. Itu TKI yang legal dan bila dijumlah dengan yang ilegal ada sekitar 2 juta orang. "Sudah tentu tidak sebanding antara jumlah WNI yang harus dilayani dengan yang melayani," katanya. Ia mengemukakan hal itu berkaitan dengan pernyataan beberapa penerjemah Indonesia di pengadilan Malaysia. Mereka mengatakan, pemerintah Indonesia seharusnya malu besar kepada pemerintah Malaysia karena tetangganya telah banyak mengeluarkan dana untuk membela WNI yang melakukan tindakan kriminal di Malaysia. Hal itu dikemukakan oleh Saiful Aiman Sawari dan Made Jakfar Abdullah, keduanya adalah juru bahasa Indonesia, Mahkamah Persekutuan Malaysia, di Kuala Lumpur, Rabu. "Pemerintah Indonesia atau KBRI Malaysia tidak perlu banyak komentar dan komplain soal perlakuan pengadilan terhadap WNI karena pemerintah Indonesia tidak pernah mau keluar uang untuk membela warganya yang sedang menghadapi pengadilan di Malaysia," katanya. Sedangkan pemerintah Malaysia sudah banyak keluarkan uang untuk membela warga negara Indonesia di pengadilan karena melakukan tindakan kriminal," kata Made Jakfar Abdullah, penerjemah bahasa Indonesia bagi WNI yang menjadi terdakwa di pengadilan Malaysia.(*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007