Tampak Siring (ANTARA News) - Perjanjian ekstradisi antara Pemerintah Republik Indonesia dan Singapura berlaku surut 15 tahun, kata Menteri Sekertaris Negara Yusril Ihza Mahendra. "Sebenarnya perjanjian ekstradisi itu baku, prinsip-prinsipnya sama, yang akan spesifik adalah berlaku surutnya, 15 tahun ke belakang," kata Yusril di Istana Tampak Siring, Bali, sebelum rapat terbatas kabinet dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sekalipun telah ada kesepakatan untuk berlaku surut selama 15 tahun, namun menurut Mensesneg diperlukan telaah lebih jauh tentang kesepakatan berlaku surut selama 15 tahun itu. "Ekstradisi berlaku surut 15 tahun tapi apakah subyek hukum yang terkena ekstradisi juga berlaku surut ke belakang, harus didalami," ujarnya. Perjanjian Ekstradisi, lanjut dia, adalah upaya institusi suatu negara untuk memperluas kesepakatan dengan negara lain terhadap warga negara yang melakukan kejahatan di dalam negeri dan kemudian melarikan diri ke negara lain yang menjadi timpalan dari perjanjian ekstradisi itu. "Dalam perjanjian disebutkan juga jenis-jenis kejahatan yang dapat diserahkan dengan perjanjian ekstradisi," ujarnya. Dalam perjanjian Ekstradisi RI-Singapura disepakati 42 jenis kejahatan yang berada dalam cakupan kesepakatan dua negara. "Ada 42 item, jenis kejahatan yang dapat diajukan dengan ekstradisi, yang memang telah disepakati," katanya. Jika ada yang muncul belakangan, lanjut dia, akan ada adendum (revisi dan penambahan). Sementara itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan PM Singapura Lee Hsien Loong akan menyaksikan penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) antara RI dan Singapura di Istana Tampak Siring, Bali, Jumat sore. Nota Kesepahaman antara kedua negara yang akan ditandatangani meliputi Perjanjian Ekstradisi dan Perjanjian Kerjasama Pertahanan antara RI-Singapura serta perjanjian antara TNI dan angkatan bersenjata Singapura mengenai daerah latihan militer di Indonesia. Penandatanganan akan dilakukan oleh Menteri Luar Negeri dan Menteri Pertahanan kedua negara dengan disaksikan oleh kepala pemerintahan masing-masing negara, sekitar pukul 16.45 Wita seusai perundingan dwipihak delegasi dua negara. Sebelumnya, sekitar pukul 15.00 Wita, Presiden Yudhoyono juga dijadwalkan untuk menerima kunjungan kehormatan Perdana Menteri Lee Hsien Loong. Perundingan bagi perjanjian ekstradisi mulai dilakukan 2005, dan kesepakatan antara kedua belah pihak dicapai dalam pertemuan tingkat menteri di Singapura, Senin lalu. Dalam pernyataan bersama seusai perundingan itu, disebutkan bahwa menteri dan panglima kepala angkatan bersenjata mendukung naskah kesepakatan ekstradisi dan kerjasama pertahanan, yang disusun masing-masing kelompok perunding. Menlu RI Hassan Wirajuda berkata, "Kami benar-benar yakin bahwa kesimpulan kedua persetujuan ini betul-betul berperan banyak dalam usaha bersama memperkuat hubungan dwipihak." Sementara itu, Menlu Singapura George Yeo berkata, "pembicaraan, yang berlangsung, bercirikan kerjasama tinggi, persahabatan, keluwesan dan niat baik." Sejumlah pihak di Indonesia mengatakan bahwa sejumlah tersangka, termasuk mantan pejabat dan pengusaha, diduga melarikan diri ke Singapura dan menaruh uang mereka di bank atau modal lain di negara pulau tersebut. Singapura, pusat keuangan kawasan, menyangkal tuduhan itu dan bersikeras mempunyai perlindungan cukup untuk mencegah negara tersebut menjadi magnet pencucian uang. Pada Januari, Indonesia tiba-tiba melarang ekspor pasir laut, yang digunakan untuk pembangunan gedung dan reklamasi pantai, sehingga menyulitkan pemborong di Singapura. Pemerintah pusat menggariskan bahwa larangan ekspor pasir itu diberlakukan untuk menghentikan kerusakan lingkungan, yang disebabkan penggalian pasir. (*)

Copyright © ANTARA 2007