Bandarlampung (ANTARA News) - Mantan Kepala Staf Kostrad, Kivlan Zen, menilai bahwa kerjasama militer antara Indonesia - Singapura telah berlangsung sejak 25 tahun lalu, sehingga kerjasama pertahanan kedua negara yang ditandatangani di Bali pada Jumat (27/4) lalu tidak perlu dipolitisir. "Kerjasama itu memang lebih menguntungkan bagi kedua negara dibandingkan kerjasama militer sebelumnya, namun kewaspadaan tentunya harus tetap dipertahankan," kata purnawiraan jenderal berbintang dua itu saat dihubungi dari Bandarlampung, Senin. Menurut dia, tidak ada hal yang baru dari penandatanganan kerjasama militer kedua negara pada Jumat pekan lalu, kecuali keuntungan bagi Indonesia yang lebih moderat. Dia menyebutkan, tempat kerjasama militer kedua negara yang telah berlangsung 25 tahun itu memang lebih banyak di wilayah Indonesia, namun tempat kerjasama militer juga berada di wilayah Singapura. Ketika dirinya menjabat Panglima Divisi II/Kostrad pada 1997, tempat latihan militer kedua negara justru berada di wilayah Singapura Keuntungan yang diperoleh militer Indonesia melalui kerjasama itu lebih besar dibandingkan kerjasama sebelumnya, terutama dalam mengakses informasi dan teknologi militer Singapura yang jauh lebih maju. Teknologi militer Singapura banyak dipasok Amerika Serikat (AS) dan Israel, dan negara pulau itu juga menjalin kerjasama militer dengan kedua negara tersebut. Teknologi militer Singapura disebutkannya 30 tahun lebih maju dibandingkan dengan teknologi militer Indonesia yang sekarang masih mengandalkan persenjataannya dari teknologi tahun 1970-an, seperti Rusia dan Ceko. Namun, ia mengingatkan, agar tempat kerjasama pertananan kedua negara tidak berpindah-pindah, seperti dari Pekanbaru dipindahkan ke Aceh. Mengenai penyetaan pihak ketiga oleh Singapura dalam kerjasama militer itu, ia dengan tegas meminta agar pemerintah Indonesia bersikap tegas akan butir-butir yang diatur dalam perjanjian tersebut. Kerjasama dengan melibatkan pihak ketiga itu harus seizin pemerintah

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007