Surabaya (ANTARA News) - Hamid Awaluddin SH LLW PhD, yang juga Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkum & HAM), menjadi penguji disertasi Nunuk Nuswardani SH MH tentang sengketa pemilihan pmum (pemilu) di Fakultas Pasca-Sarjana (FPS) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Senin. Hamid, yang mantan salah seorang anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat itu, menjadi co-promotor bagi promovendus (calon doktor) Nunuk Nuswardani yang menulis disertasi bertajuk "Wewenang Mahkamah Konstitusi (MK) Sebagai Judex Facti Dalam Memutus Perselisihan Hasil Pemilu." Dalam ujian itu, Hamid melontarkan tiga pertanyaan kepada Nunuk Nuswardani (dosen Fakultas Hukum di Universitas Trunojoyo, Bangkalan, Madura, Jawa Timur) yang meraih gelar doktor berpredikat "cum-laude" itu. "Saudara promovendus, apakah saudara sepakat sengketa pemilu diselesaikan di tingkat MK di Jakarta? Karena, seandainya ada kasus perselisihan suara yang cuma 100.000 di Papua," tanya Hamid. Pertanyaan itu dijawab promovendus secara tegas bahwa MK tidak berhak menyelesaikan sengketa pemilu. "Itu karena MK memang tidak bisa bertindak judex facti (memeriksa fakta di lapangan)," kata Nunuk. Hamid juga menimpali jawaban itu dengan pertanyaan, "Apakah promovendus menilai MK cukup menyelesaikan sengketa dari awal sampai akhir? Melainkan, dia harus memeriksa setelah mendapat hasil pemeriksaan awal dari PN?." Nunuk yang alumnus S-1 dan S-2 Fakultas Hukum (FH) Unair Surabaya itu menyatakan, MK di Indonesia sebenarnya dapat meniru MK di Jerman yang menyelesaikan sengketa pemilu sejak awal hingga akhir. "Tapi, MK harus memiliki semacam komisi konstitusi di tingkat bawah yang melakukan pemeriksaan sejak awal. Kemudian hasilnya diserahkan kepada MK untuk mengeluarkan putusan akhir," ungkapnya. Namun, katanya, MK di Indonesia sulit melaksanakan fungsi "judex facti" itu, karena DPR RI belum memiliki kewenangan yang dapat memberikan fungsi "judex facti" itu kepada MK. "Karena itu, saya setuju bila fungsi MK diamandemen untuk dikembalikan kepada fungsi pengontrol UU dan relevansi dengan UU lainnya, sedangkan fungsi 'judex factie' dikembalikan kepada MA yang membawahi PN dan PT," ucapnya. PN yang dimasudnya adalah Pengadilan Negeri, sedangkan PT adalah Pengadilan Tinggi. Pendapat itu tampaknya dapat diterima Hamid. "MK memang 'nggak' mungkin untuk melihat hasil pemilu yang disengketakan dari seluruh Tempat Pemungutan Suara (TPS), karena memang 'nggak' ada jaringannya," tutur Hamid, menanggapinya. Tentang penunjukan Hamid Awaluddin sebagai co-promotor, Nunuk menyatakan, hal itu lantaran Hamid pernah mengikuti sidang-sdiang di MK saat masih menjadi salah seorang Amggota KPU. "Jadi, beliau tahu persis dengan kasus sengketa pemilu yang saya contohkan, yakni Yakohimo (Papua), Sorong (Irjabar), dan Donggala (Sulteng). MK membenarkan posisi caleg DPRD setempat, tapi PN setempat menyatakan bukti yang diajukan palsu, sehingga kontradiktif," ujarnya menambahkan. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007