Jakarta (ANTARA News) - Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyatakan bukti yang diajukan oleh terpidana kasus korupsi Exxor I Balongan, Tabrani Ismail, dalam permohonan Peninjauan Kembali (PK) tidak memenuhi kualifikasi bukti baru (novum). Pada sidang di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Kamis, JPU Wahyu Heri menyampaikan pendapat terhadap permohonan PK yang diajukan oleh Tabrani. JPU menyatakan bukti baru yang diajukan oleh Tabrani telah dipertimbangkan seluruhnya oleh majelis hakim tingkat kasasi (judex juris). JPU pun membantah adanya kekhilafan nyata dalam putusan Mahkamah Agung (MA) tertanggal 26 April 2006 yang menjatuhkan hukuman enam tahun penjara kepada Tabrani. Menurut JPU, unsur-unsur padal 2 ayat 1 UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang didakwakan kepada Tabrani telah dibuktikan oleh penuntut umum dan telah dipertimbangkan secara baik dan benar oleh majelis hakim kasasi. "Mengenai novum yang diajukan oleh terpidana dan kuasa hukumnya, menurut hemat penuntut umum, tidak mempunyai kualitas sebagai novum sebagaimana dikehendaki pasal 263 ayat dua KUHAP," tutur JPU. Pasal 263 ayat 2 mengatur PK dapat diajukan apabila ditemukan novum berupa bukti atau keadaan baru yang belum pernah diajukan dalam pemeriksaan perkara. Bukti baru yang dapat diajukan memiliki syarat jika keadaan baru itu diketahui atau ditemukan saat persidangan masih berlangsung, maka bukti itu dapat dijadikan faktor atau alasan untuk menjatuhkan putusan bebas, lepas dari tuntutan hukum, atau dakwaan tidak dapat diterima. "Novum yang diajukan tidak mempunyai nilai sebagai keadaan yang dapat mempengaruhi putusan karena telah dipertimbangkan dengan baik dan benar oleh majelis hakim," tutur JPU. Untuk itu, dalam pendapatnya, JPU menyatakan alasan-alasan yang diajukan oleh Tabrani dalam permohonan PK bukan merupakan dasar untuk mengajukan PK seperti yang diatur dalam pasal 263 ayat 2 KUHAP. Tabrani mengajukan delapan novum dalam permohonan PKnya. Di antara novum yang diajukan adalah neraca laba-rugi Pertamina Unit Pengolahan IV Balongan kurun Januari hingga Desember 2000 yang sudah diaudit oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dan untung bersih perusahaan per Oktober 2000. Selain itu, pihak Tabrani juga mengajukan novum berupa surat-surat, antara lain surat Jaksa Agung pada Presiden tertanggal 21 Mei 1999 dan surat Radius Prawiro sebagai mantan Menko Ekuin kepada Tabrani tertanggal 2 Agustus 2003. Tabrani sempat dinyatakan buron sejak 18 September 2006. Namun, ia tertangkap di kawasan Mega Kuningan, Jakarta, pada 14 Februari 2007. Pada tingkat kasasi, MA menjatuhkan vonis enam tahun penjara dan hukuman denda Rp30 juta subsider tiga bulan kurungan serta membayar ganti kerugian negara sebesar 189,58 juta dolar AS kepada Tabrani. Sedangkan pada pengadilan tingkat pertama, Tabrani dibebaskan oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat karena dinilai tidak terbukti melakukan korupsi dan merugikan keuangan negara sebesar 189,58 juta dollar AS. Vonis kasasi MA menyatakan Tabrani telah terbukti merugikan keuangan negara sebesar 189,58 juta dolar AS, karena uang yang digunakan untuk melaksanakan proyek Exor I Balongan adalah pinjaman yang harus dibayar oleh negara. Dana dalam proyek Balongan berasal dari Java Investment Company, sebuah perusahaan patungan dari beberapa perusahaan dagang di Jepang. MA menilai, meski bukan dana APBN, dana tersebut adalah pinjaman yang harus dibayar oleh negara. Dalam putusan kasasi MA, Tabrani dinyatakan bersalah telah menyalahgunakan kewenangan untuk menentukan nilai proyek Exor I Pertamina di Balongan. Tabrani yang diangkat sebagai Direktur Pengolahan Pertamina tahun 1988 telah memerintahkan secara lisan kepada Kepala Divisi Perencanaan dan Pengembangan Pertamina Sudrajat PK agar membuat estimasi dan evaluasi ekonomi proyek Exor I Balongan. Estimasi pertama adalah estimasi pelaksanaan proyek Exor I tahun 1989 senilai 1,468 miliar dollar AS dan estimasi untuk tahun 1992 senilai 1,651 miliar dollar AS.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007