Jakarta (ANTARA News) - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) meminta Pemerintah untuk mengeluarkan regulasi yang jelas untuk masalah minyak goreng untuk melindungi konsumen dalam negeri. "Harus ada regulasi yang mengharuskan dipenuhinya kebutuhan dalam negeri sebelum dilakukan ekspor," kata Anggota Pengurus Harian YLKI, Sudaryatmo, kepada ANTARA News di Jakarta, Rabu. Dia mengatakan saat ini Pemerintah benar-benar membebaskan sepenuhnya masalah minyak goreng ke pasar. Seharusnya, menurut dia, pasar diberi kebebasan tetapi tetap ada batasannya. Dia juga mengatakan perlu adanya lembaga yang dapat menjadi `buffer stock` yang menguasai semua komoditas yang memenuhi kebutuhan konsumen. Selain itu, menurut dia, perlu adanya Undang-undang (UU) Kawalan Harga Komoditas yang pada akhirnya dapat melindungi konsumen. Dengan alasan kepentingan nasional, tentunya hal tersebut tidak akan menyalahi perjanjian dengan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Dia menyebutkan tiga variabel yang menyebabkan harga minyak goreng di pasaran tinggi, diantaranya adanya kendala pada pasokan, masalah distribusi, dan adanya struktur pasar yang tidak sehat. "Sebenarnya kita tidak tahu daerah mana yang harganya bergejolak. Tetapi yang jelas Pemerintah harus bisa melihat distribusi di lapangan tidak hanya di pabrik dan gudang saja," ujar dia. Dia mengatakan sampai saat ini sudah ada beberapa telepon dari masyarakat yang melaporkan kepada YLKI tentang adanya kenaikan harga minyak goreng di daerahnya. Harapan mereka agar Pemerintah mau melakukan operasi pasar (OP) jika memang harga terus melonjak dan pasokan berkurang. Sementara itu, dia mengatakan, perlu juga pengawasan untuk menghindari kerugian konsumen lainnya dari kemungkinan adanya minyak goreng oploson akibat melonjaknya harga minyak goreng saat ini. Dia mengakui bahwa perlindungan konsumen terhadap minyak goreng oplosan kurang. Karena secara teknis dengan menggunakan bahan kimia tertentu minyak goreng yang telah digunakan dapat berubah menjadi jernih.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007