Jakarta (ANTARA News) - Aliansi sembilan organisasi multiindustri mengusulkan pemisahan hypermarket dari pusat belanja dan mendirikan bangunan serta infrastruktur sendiri. "Kami usulkan dalam peraturan presiden (perpres) agar mengatur hypermarket untuk melakukan investasi sekurang-kurangnya dengan mendirikan bangunan dan infrastruktur sendiri," kata Sekretaris aliansi Abdurahman setelah menghadap Menteri Koordinator bidang Perekonomian Boediono dan Menteri Perdagangan Mari Pangestu di Kantor Menko, Jakarta, Selasa. Dengan kewajiban itu, maka pembangunan hypermarket akan benar-benar menciptakan lapangan pekerjaan. Ia menilai keberadaan hypermarket asing hanyalah mendatangkan investasi yang semu. Abdurahman mencontohkan, untuk satu gerai tanpa melakukan usaha apa pun, hypermarket sudah dapat mengambil untung dari setoran listing fee pemasok. "Misalnya satu gerai ada 50 ribu item barang dengan listing fee Rp1 juta, dia bisa dapat Rp50 miliar dari pemasok saja. Apa itu investasi?" ujarnya. Berdasarkan draft Perpres tanggal 3 April 2007, aliansi sembilan asosiasi itu hanya menambahkan usulan zonasi untuk hypermarket. Usulannya adalah keberadaan hypermarket selain berdasarkan Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kabupaten atau Kota tapi juga harus di pinggir kota. Aliansi juga meminta keberadaan hypermarket dibatasi satu untuk 450.000 penduduk sedangkan untuk supermarket dan departemen store dibatasi per 60.000 perduduk. Aliansi sembilan asosiasi itu adalah Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI), Asosiasi Pengusaha Pemasok Pasar Modern (AP3MI), Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI), Asosiasi Industri Pengolahan Daging Indonesia (NAMPA), Persatuan Perusahaan Kosmetik Indonesia (PERKOSMI), Asosiasi Produsen Garam Konsumsi Beryodium (APROGAKOB), Gabungan Elektronika Indonesia (Gabel), Asosiasi Pemasok Asesoris dan Garmen Indonesia (APGAI) dan Asosiasi Industri Minuman Ringan (ASRIM). Sekjen APPSI, Ngadiran yang juga tergabung dalam aliansi itu menambahkan pengaturan yang terpenting bagi mereka adalah mengenai zonasi dan syarat perdagangan (trading term). "Kalau hypermarket ada di luar kota, akan bisa buat komunitas sendiri. Jadi ada magnit baru di daerah baru itu," ujarnya. Penerapan trading term yang totalnya bisa mencapai 68 persen dari omzet penjualan bukan hanya merugikan pemasok namun juga berdampak pada omzet pasar tradisional. "Jenis pungutan itu (trading term terutama untuk program diskon) yang membuat harga di pasar modern bisa lebih rendah dari kami. Itu akan mempercepat matinya pasar tradisional," katanya. Aliansi sembilan asosiasi juga mengusulkan pembatasan biaya pendaftaran perdagangan (listing fee) maksimal Rp200.000 dan pembayaran tagihan dilakukan sesuai kesepakatan antara pemasok dan peritel. "Kami juga meminta dilibatkan dalam tim penataan pusat perbelanjaan dan toko modern yang dibentuk oleh pemerintah daerah," tambahnya. Menteri Perdagangan Mari Pangestu mengatakan, telah menampung usulan berbagai pihak termasuk aliansi sembilan asosiasi. "Kita sudah tampung sebagian, kita lihat nanti Perpresnya," ujar Mendag. Pembahasan Perpres tentang penataan dan pembinaan pusat perbelanjaan dan toko modern yang telah dilakukan sebanyak 52 kali itu dijanjikan terbit pada akhir Mei 2007 setelah target Maret 2007 terlampaui.(*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007