Jakarta (ANTARA News) - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengingatkan bahwa situasi saat ini mirip dengan situasi menjelang krisis 10 tahun lalu sehingga harus ada kesiapan jika ekonomi global tiba-tiba bergejolak. "Situasi sekarang sudah agak mirip dengan situasi menjelang krisis di mana ada capital inflow cukup besar dan banyak negara yang mengalami apresiasi mata uang seperti Thailand dan India," kata Sri Mulyani kepada wartawan di Gedung Departemen Keuangan Jakarta, Kamis. Menurut Menkeu, negara-negara di kawasan Asia, khususnya Asia Tenggara (ASEAN) harus belajar banyak dari pelajaran krisis Asia yang terjadi mulai sekitar 10 tahun yang lalu. Kebijakan nilai tukar sangat sensitif di Asia Tenggara sehingga harus diwaspadai sejak awal. "Kesiapan negara-negara kawasan Asia menghadapi kemungkinan kalau tiba-tiba ekonomi global bergejolak merupakan salah satu agenda yang dibahas dalam Sidang Tahunan ke-40 Bank Pembangunan Asia (ADB) beberapa waktu lalu di Jepang yang juga dihadiri delegasi Indonesia," kata Sri Mulyani. Dalam kesempatan pertemuan tersebut, Indonesia juga memberikan penekanan agar ADB dapat memberikan pelayanan kepada seluruh negara di kawasan Asia dalam upaya mengurangi tingkat kemiskinan yang saat ini jumlahnya masih besar. "ADB ditantang untuk tetap komitmen dalam mengurangi kemiskinan tapi di sisi lain harus layani sektor finansial, pasar modal, dan pengembangan infrastruktur keuangan di pasar negara berkembang," katanya. Dari sisi internal, Indonesia juga meminta agar dilakukan reformasi internal termasuk mengkaji penurunan commitment charges karena kalau administrasi ADB tidak efisien akan menyulitkan negara yang akan meminjam. Dalam rangkaian kunjungannya ke Jepang, Menkeu juga membahas tindak lanjut Chiangmai Inisiative yang menggagas penyediaan cadangan devisa bagi ASEAN +3 (Jepang, Cina, Korea Selatan). "Jumlah dana yang terhimpun dalam rangka bilateral swap arrangement (BSA) sudah mencapai 80 miliar dolar AS. Kita sudah tanda tangan dengan Jepang, Korsel, dan ASEAN secara umum dan jumlahnya 16 miliar dolar AS," jelasnya. Ia menjelaskan, jumlah itu bukan pinjaman yang ditarik Indonesia, tetapi merupakan garis pertahanan jika sewaktu-waktu Indonesia mengalami krisis neraca pembayaran maka Indonesia dapat menggunakan garis pertahanan itu. (*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007