Jakarta (ANTARA News) - Perum Bulog hingga saat ini kesulitan menyerap gabah petani karena harga gabah di pasaran lebih tinggi dari harga pembelian pemerintah (HPP) seperti ditetapkan dalam Inpres No 3 tahun 2007. Dirut Perum Bulog Mustafa Abubakar di Jakarta, Kamis menyatakan, dengan kondisi tersebut maka petani lebih memilih menjual gabah hasil panen mereka di pasaran daripada ke Bulog. "Pengadaan gabah dan beras dalam negeri, kami menghadapi kendala harga beras di pasar yang cukup tinggi. Harga Bulog masih dianggap rendah sehingga petani memilih menjual hasil panennya ke pasar," katanya pada acara memperingati 40 tahun Perum Bulog. Akibatnya, tambahnya, Bulog mengalami kesulitan dalam melaksanakan pengadaan dan penyerapan gabah dan beras di dalam negeri. Dalam Inpres nomor 3 tahun 2007 tentang harga pembelian pemerintah (HPP) untuk gabah dan beras yang mana untuk gabah kering panen (GKP) menjadi Rp2.000 per kg, gabah kering giling (GKG) Rp2.575 per kg dan beras Rp4.000 per kg atau rata-rata naik 17 persen dibandingkan HPP tahun lalu. Menurut Mustafa, penyerapan gabah oleh Bulog semakin terbatas, sedangkan penyaluran beras untuk kebutuhan operasi pasar (OP) maupun Raskin (beras untuk rakyat miskin) terus berlangsung, akibatnya stok yang dikuasai Bulog semakin menipis. Namun, tambahnya, kekurangan stok tersebut telah disikapi pemerintah dengan disetujuinya impor beras sebanyak 1,5 juta ton yang dilakukan secara bertahap untuk memperkuat stok beras nasional. Dia mengungkapkan, realisasi penyerapan gabah dan beras sejak keluarnya Inpres no 3 tahun 2007 pada April, dari target 324 ribu ton dari luar pulau Jawa Bulog baru menyerap 91 ribu ton, sedangkan dari Jawa baru menyerap 469 ribu ton dari target satu juta ton. "Posisi stok Bulog saat ini hanya 750 ribu ton yang akan bergerak terus sesuai pengumpulan gabah dan beras dalam negeri, katanya. Sementara itu menurut dia, posisi impor sudah mendekati 600 ribu ton dari izin yang sebanyak 1,5 juta ton yang mana sebagian besar digunakan untuk operasi pasar beberapa waktu lau sehinggamasih ada sisa izin impor sekitar 900 ribu ton.(*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007