Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah harus mengendalikan utang luar nergi swasta agar tidak membuat perekonomian Indonesia jatuh dalam krisis ekonomi. "Pemerintah perlu mengendalikan utang swasta kalau tidak akan menumbuhkan spekulasi devisa yang akan membuat destabilisasi permanen," kata ekonom Tim Ekonomi Indonesia Bangkit (TIB) Hendrawan Supartikno di Jakarta, Senin. Hendrawan mengatakan hutang luar negeri swasta yang memanfaatkan dana-dana murah yang saat ini banyak dimiliki di Luar Negeri bisa menjadi krisis ekonomi seperti tahun 1997. "Krisis tahun 1997 dipicu oleh jatuhnya mata uang rupiah yang telah menggelembungkan hutang-hutang luar negeri termasuk luar negeri swasta, dimana pada saat itu banyak perusahaan yang hutang luar negerinya jatuh tempo," katanya. Kondisi tersebut mengakibatkan banyak perusahaan yang mengalami kolaps dan membuat perekonomian nasional ambruk. Untuk itu, menurutnya, pemerintah harus sejak dini melakukan pengawasan terus menerus terhadap masalah ini. Ia menambahkan bahwa pada saat terjadi krisis ekonomi 1997 pemerintah telah membuat tim untuk mengendalikan hal itu, tetapi tim tersebut tidak berjalan baik. "Dari pengalaman itu maka pemerintah harus serius untuk membuat tim sejak dini untuk mengendalikan masalah utang tersebut," kata Hendrawan. Ia menilai pemerintah tidak bisa hanya mengandalkan usaha untuk memperkuat cadangan devisa seperti pertemuan kyoto dan chiang mai. "Kita perlu pencatatan dan pengendalian yang jelas tentang utang," katanya. Hal tersebut terkait pertemuan Kyoto pada lima Mei 2007 di Kyoto yang menyatakan 10 negara Asean dan mitranya, Jepang, China dan Korsel, berkomitmen untuk meperluas kerjasama secara multilateral dengan membentuk cadangan devisa bersama, guna mengatasi kemungkinan terjadinya guncangan krisis keuangan yang melanda anggotanya Senada dengan Hendrawan, pengamat ekonomi Aviliani, mengatakn pemerintah perlu melakukan tindakan pengawasan yang ketat. Hal ini karena menurut Aviliani, fundamental ekonomi kita masih lemah. "Kinerja ekspor kita yang terus meningkat belum bisa dijadikan patokan kuatnya fundamental ekonomi bila ekspor belum mampu menutup hutang," katanya, Untuk itu menurut, Aviliani sejak dini pemerintah harus melakukan pendekatan kepada mereka yang berpotensi untuk melakukan utang luar negeri. Selain itu Aviliani juga mengatakan perlu pengawasan terhadap perusahaan asing karena lebih sulit untuk diawasi. "Perusahaan asing lebih memiliki potensi membawa uang dari luar negeri ke sini," kata Aviliani. Sebelumnya Bappenas menyatakan agar pinjaman luar negeri oleh swasta perlu diawasi secara ketat, bahkan kalau perlu dibatasi agar tidak membahayakan stabilitas moneter. "Kalau dibatasi mungkin, tapi itu harus berdasarkan keputusan bersama," kata Sekretaris Utama Bappenas, Syahrial Loetan. Menurut Syahrial, Keppres 39/1991 tentang tim Koordinasi Pengelolaan Pinjaman Komersial Luar Negeri (PPKLN) perlu direvitalisasi agar koordinasi pengawasan BI, Depkeu, Bappenas, dan Menko Perekonomian dapat lebih kuat, apalagi dengan memperhitungkan kekuatan cadangan devisa Indonesia. "Tapi sekarang sinyal-sinyal BI sudah bisa menjadi bahan analisis," ujarnya. Dia berharap pemerintah belajar dari kondisi ketika terjadi krisis finansial pada pertengahan 1990-an, dimana pinjaman LN swasta dalam lima tahun meningkat hingga jumlah yang sama dengan pinjaman LN pemerintah dalam 30 tahun. Menurut data BI, pinjaman luar negeri swasta pada 2006 mencapai 51,131 miliar dolar AS, atau naik daripada tahun sebelumnya mencapai 50,580 miliar dolar AS. Sementara itu, pinjaman luar negeri pemerintah pada 2006 mencapai 74,126 miliar dolar AS atau turun dari tahun sebelumnya yang mencapai 80,071 miliar dolar AS.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007