Yogyakarta (ANTARA News) - Fundamental ekonomi makro Indonesia saat ini jauh lebih kuat untuk menghadapi ancaman krisis ekonomi dibandingkan dengan kondisi ekonomi pada 1997. "Tidak adanya keterkaitan antara sektor riil dan sektor moneter sekarang ini memang mirip dengan kondisi 1997 sebelum terjadi krisis ekonomi," kata pakar ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof Mudrajad Kuncoro, Selasa. Jika dilihat dari sisi arus investasi portofolio, keadaan Indonesia saat ini memang sama seperti yang terjadi pada 1997. "Indeks Harga saham Gabungan (IHSG) yang mencapai indeks 2000 merupakan angka tertinggi dalam sejarah Indonesia. Memang, prinsip kapitalisme global adalah bagaimana modal mencari `return` tertinggi," kata Guru Besar Fakultas Ekonomi UGM ini. Meski demikian, konstelasi perekonomian sekarang jauh lebih bagus dari 2007. Hal itu ditandai dengan kuatnya cadangan devisa saat ini yang mencapai 49 miliar dolar AS, sedangkan pada 1997 cadangan devisa diserbu para spekulan. Indikasi kuatnya perekonomian tersebut adalah nilai ekspor yang menguat, selain itu ditandai juga dengan penguatan nilai rupiah yang selama pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono baru sekali terjadi. "Namun tidak ada buruknya jika dilakukan langkah pencegahan terhadap munculnya krisis ekonomi Asia, sehingga negara-negara di ASEAN lebih siap menghadapinya," kata dia. Langkah tersebut dapat dilakukan dengan kerjasama ekonomi secara internasional untuk menggalang kekuatan ekonomi bersama. Ia menambahkan, kuatnya perekonomian juga ditandai dengan nilai investasi yang positif di mana modal yang masuk lebih besar dari pada modal yang ke luar. "Kondisi tersebut berbeda jauh dibanding pada 2007 di mana investasi yang datang banyak yang hengkang," kata dia. Karena itu, modal yang masuk saat ini harus dipertahankan agar tidak ke luar sehingga dapat memperkuat perekonomian disamping cadangan devisa yang besar harus dipertahankan. Namun ia mengingatkan bahwa permasalahan yang dihadapi saat ini adalah belum bergeraknya sektor riil. Uang yang diperoleh dari penanaman modal, yang sebenarnya merupakan dana jangka pendek, banyak digunakan untuk investasi jangka panjang seperti investasi properti. "Kondisi tersebut dapat menimbulkan fenomena`bubble economy` seperti pada 1997," katanya. (*)

Copyright © ANTARA 2007