Washington (ANTARA News) - Sejenis hewan mirip-kera yang dipandang sebagai nenek moyang kera, beruk dan manusia terbukti tidak sepintar yang diperkirakan, kata beberapa ilmuwan yang menganalisis tengkorak makhluk itu, yang terpelihara secara baik selama 29 juta tahun. Temuan itu menunjukkan bahwa perluasan otak primata berevolusi belakangan dibandingkan dengan perkiraan sebelumnya, kata para peneliti tersebut, seperti dikutip Reuters, Senin. Mereka menganalisis fosil tengkorak yang terpepelihara sangat baik dari primata kecil aegyptopithecus zeuxis, yang tinggal di pepohonan dan makan buah, serta hidup sekitar 29 juta tahun lalu di hutan hangat di wilayah yang sekarang menjadi gurun di Mesir. Suatu teknik yang dinamakan microcomputerized tomography scanning, metode komputerisasi sinar-X yang juga disebut micro-CT, memungkinkan mereka memastikan dimensi otak hewan itu. "Yang mengejutkan ialah seberapa kecil otak ini," kata ahli primata dari Duke University, Elwyn Simons, yang memimpin studi tersebut di Proceedings of the National Academy of Sciences, dalam suatu wawancara telepon. Ia menimpali, "Anda juga dapat melihat itu adalah otak yang sangat primitif. Itu kecil bagi kera atau beruk. Jadi, itu memberitahu kita bahwa kecepatan pencapaian perluasan otak pada primata agak lamban dibandingkan dengan yang barangkali kita perkirakan." Tengkorak hewan betina kecil itu ditemukan di tempat penggalian di sebelah barat-daya Kairo, ibukota Mesir, pada 2004. Tengkorak tersebut terpelihara lebih baik dibandingkan dengan satu tengkorak lain yang lebih besar milik hewan jantan spesies itu yang ditemukan di lokasi yang sama pada 1966. Berdasarkan temuan sebelumnya, para ilmuwan telah berteori bahwa spesies tersebut memiliki otak yang relatif besar. Tetapi sebaliknya, hewan itu mungkin memiliki otak bahkan lebih kecil dibandingkan dengan otak kungkang (kera kecil tidak berekor yang sukat bergantung di pohon) modern, primata dengan ciri primitif. Kondisi tengkorak sebelumnya --"yang remuk", demikian istilah Simons-- menghalangi analisis yang mungkin dilakukan pada tengkorak yang baru ditemukan. Simons mengatakan, ketika primata tersebut hidup, Afrika merupakan satu pulau, sehingga membatasi persaingan bagi kelangsungan hidup. Ia menyatakan, perluasan otak mungkin telah berevolusi di wilayah itu setelah Afrika menyatu dengan Asia, sehingga mendatangkan lebih banyak hewan, termasuk predator baru yang berbahaya. "Perluasan isi otak didukung dalam kondisi persaingan, karena anda harus lebih pintar," kata Simons. Aegyptopithecus zeuxis kadangkala disebut "Dawn Ape". Simons mengatakan hewan itu kelihatan agak mirip dengan beruk, terutama susunan tengkorak dan giginya, dan spesies tersebut diperkirakan mendekati nenek moyang kera, beruk dan manusia. "Karena susunannya yang memiliki mekanisme pengunyah yang agak nyata dan otak kecil, maka tengkorak tersebut kelihatan seperti tengkorak beruk. Itu mirip gorila miniatur," kata Simons. Tengkorak baru tersebut dapat secara mudah digenggam di telapak tangan manusia dan lebih kecil dari ukuran tengkorak 1966. Para peneliti itu memperkirakan tengkorak tersebut berasal dari hewan betina seberat sekitar 2,5 kilogram, sedangkan tengkorak terdahulu berasal dari spesies jantan berbobot dua kali lebih berat. Para peneliti berpendapat, perbedaan ukuran jenis kelamin spesies tersebut serupa dengan bentuk tubuh gorila. Simons mengatakan, ia sebelumnya terlalu berlebihan dalam memperkirakan ukuran otaknya berdasarkan pola tengkorak 1966, yang memiliki moncong lebih besar dan kepala lebih berat. Aspek lain dari tengkorak itu menunjukkan spesies tersebut adalah cabang dari nenek moyang yang mirip kungkang, misalnya bertengkorak menunjukkan kulit otak visualnya besar, sehingga menunjukkan hewan itu memiliki pandangan yang bagus dan menjadi ciri penting primata yang lebih tinggi. Rongga matanya juga menujukkan hewan tersebut aktif selama siang hari. Banyak primata primitif lain adalah hewan malam, katanya menambahkan. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007