Jakarta (ANTARA News) - Upaya keras menggolkan perubahan (amandemen) kelima UUD 1945 yang digalang Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di MPR terancam layu sebelum berkembang, setelah komponen anggota MPR dari unsur DPR beramai-ramai menarik dukungan. Desakan untuk mengubah kembali pasal-pasal konstitusi nyaris saja berbuah keputusan setelah persyaratan minimal untuk itu terpenuhi. Ketentuan itu adalah jumlah pengusul amandemen harus memenuhi ketentuan 1/3 anggota MPR atau sebanyak 226 anggota MPR dari total sebanyal 687 anggota MPR menyetujui dilakukannya amandemen itu. "Kami memutuskan menerima usulan perubahan UUD 1945 Pasal 12D yang diajukan 234 pengusul anggota MPR. Angka ini sudah diverifikasi tim Sekjen MPR dan sudah dinyatakan sah dari sisi keaslian nama dan fakta adanya tandatangan," kata Ketua MPR Hidayat Nurwahid seusai memimpin rapat pimpinan MPR belum lama ini. Dari 234 pengusul amendemen itu terdiri atas 127 anggota DPD, anggota Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB) sebanyak 34 orang, Fraksi Partai Golkar (29), PKS (16), PAN (11), Fraksi PDIP (2) dengan tandatangan dari unsur PDS, Partai Bintang Pelopor Demokrasi (2) dan PPP sebanyak 7 orang. Penggalangan angka dukungan amandemen itu telah sejak lama dilakukan kalangan anggota dan pimpinan DPD terhadap rekan-rekan mereka dari DPR melalui berbagai cara dan forum. Beratnya meloby kalangan DPR agar bersedia meluluskan keinginan DPD membuka pintu amandemen konstitusi pernah dikemukakan Ketua DPD Ginandjar Kartasasmita kepada wartawan. "Di luar DPR, tidak ada yang tidak mendukung (penguatan DPD). Apakah pengamat, ahli, akademisi, pakar. Mereka semua mendukung penguatan DPD," katanya. Sedangkan anggota DPR kerap mengatakan, "Ya, setuju. Tapi nanti saja setelah pemilihan umum" atau "Setuju, tapi cukup merevisi Susduk (Undang-Undang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) saja". Semua alasan yang disampaikan tersebut menggambarkan betapa DPR belum ikhlas berbagi kekuasaan dengan DPR, semisal revisi UU Susduk tentunya tidak banyak bermakna karena secara hirarkis posisi UU tersebut masih di bawah konstitusi. Setelah angka dukungan minimal digapai dengan susah payah dan pimpinan MPR pun sempat memberi sinyal dibukanya pintu amandemen itu, tiba-tiba satu persatu anggota MPR dari unsur DPR yang pernah membubuhkan tandatangannya diminta menarik dukungan mereka. DPP Partai Golkar bahkan berkirim surat resmi kepada pimpinan FPG MPR dan DPR bernomor B-387/Golkar/V/2007 tertanggal 14 Mei 2007, yang sempat bocor ke wartawan. Dalam surat yang ditandatangani Ketua DPP Golkar Ali Wongso Sinaga dan Sekjen Soemarsono itu, seluruh kader Partai Golkar yang duduk di MPR diinstruksikan untuk menyesuaikan sikap politiknya dengan DPP yang berpendapat bahwa saat ini belum tepat untuk dilakukannya amandemen tersebut. Tanpa banyak merinci maksudnya, argumentasi yang dibangun "Partai Beringin" itu adalah pembahasan amendemen konstitusi saat ini bakal memicu hal-hal yang sulit dikendalikan. Hal yang sama juga disuarakan DPP PPP. Setelah membahas intensif wacana amandemen dalam rapat harian DPP PPP, Ketua Umum PPP Suryadharma Ali menginstruksikan FPP MPR untuk melakukan kajian mendalam dan komprehensif usul amendemen UUD 1945 dan tidak terburu-buru mendukung rencana itu. Selain itu, agenda politik nasional menghadapi Pemilu 2009 dianggap jauh lebih penting untuk mendapatkan prioritas, khususnya yang berkaitan dengan penyelesaiaan revisi sejumlah RUU bidang Politik. Karenanya, Suryadharma yang juga Menkop UKM itu menginstruksikan kader-kadernya yang duduk di MPR dan telah terlanjur menandatangani usul perubahan agar menarik kembali dukungan mereka. Anggota Dewan Pertimbangan Pusat PDIP AP Batubara berpendapat, usulan amandemen kelima UUD 1945, yang khususnya digalang anggota-anggota DPD untuk mengubah Pasal 22D ayat (1-3), belum menjadi agenda penting buat bangsa Indonesia saat ini. "Saya menilai agenda yang didesakkan para anggota DPD itu selain berpotensi merusak agenda politik nasional seperti pembahasan revisi RUU politik, juga bisa mengganggu proses persiapan Pemilu 2009," kata Batubara. Karenanya, ia berpendapat, akan lebih baik jika energi seluruh anggota DPD saat ini terfokus pada berbagai persoalan rakyat Indonesia saat ini, seperti angka kemiskinan yang semakin tinggi dan pengangguran yang terus meluas. Soal Waktu Dengan terus mengalirnya dukungan terhadap gagasan amandemen kelima, sebagian publik semula memprediksi bahwa Sidang MPR untuk membahas amandemen terhadap Pasal 22D UUD 1945 tentang tugas dan kewenangan DPD akan segera terwujud. Bermodal 234 suara anggota MPR, pimpinan Majelis bisa segera melakukan konsultasi dengan pimpinan fraksi-fraksi di MPR dan selanjutnya membahas hasilnya dalam rapat konsultasi dengan pimpinan lembaga negara lainnya sebelum gong amandemen ditabuh. Yang menjadi persoalan adalah pasal-pasal mana saja yang sangat mendesak untuk diamandemen? Hingga saat ini, wacana yang terekam masih sebatas perubahan pasal 22 UUD 1945 yang gencar dikumandangkan DPD. Perubahan pasal itu diharapkan berujung pada kesetaraan posisi dan kewenangan antara DPD dengan DPR. Saat ini kalangan DPD merasa bahwa mereka hanya sebatas aksesoris kenegaraan yang tidak mempunyai kewenangan sebanding dengan keberadaannya. Jika seluruh anggota DPR dan DPD sama-sama dipilih langsung oleh rakyat dalam Pemilu, mengapa di antara keduanya harus dibedakan kewenangan dalam menyusun RUU? Begitu alasan utamanya. Kendati telah mengalami perubahan total dalam empat tahap, UUD 1945 memang masih harus disempurnakan karena sebagian isinya menyebabkan munculnya sejumlah masalah, di antaranya ketidaksejajaran sistem bikameral itu, posisi presiden semakin lemah hingga untuk menerima duta besar saja harus minta persetujuan DPR serta perubahan telah meniadakan tuntunan penyelenggaraan negara yang dahulu muncul dalam bentuk garis-garis besar haluan negara (GBHN). UUD 1945 memang bukan kitab suci yang tidak boleh diubah dan amandemen merupakan hal yang wajar bila ditemukan adanya isi dan ketentuan beberapa pasal konstitusi itu yang tidak lagi sesuai perkembangan zaman. Namun, berbagai gagasan perubahan tersebut tentunya harus dilakukan secara bertahap dan mengacu pada sebuah desain besar. Sinyalemen ini pernah disampaikan Ketua Umum Ikatan Alumni Lemhanas (IKAL) Agum Gumelar saat menggelar Konvensi Nasional IKAL X yang mengambil tema "Apa Ada yang Salah Dalam Perubahan UUD 1945". Saat itu dia mengatakan, "MPR harus membentuk tim ahli yang bertugas menyusun desain besar rencana perubahan UUD 1945". Tim itu nantinya bertugas mengevaluasi, mempelajari dan menyelidiki keseluruhan isi atau ketentuan dalam konstitusi negara tersebut sehingga berbagai tuntutan amandemen benar-benar obyektif. Dengan demikian, maka amandemen mendatang yang dilakukan MPR benar-benar efektif menjawab perubahan zaman sekaligus mengantisipasi kemungkinan celah bagi perubahan pasal-pasal lainnya. Menurut dia, seringnya UUD 1945 diamandemen justru akan menimbulkan kekacauan baru dalam sistem ketatanegaraan Indonesia mengingat posisi konstitusi itu sebagai sumber dari segala sumber hukum yang ada di negara ini.(*)

Oleh Oleh Junaedi S
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007