Jakarta (ANTARA News) - Kasus penyalahgunaan izin impor garam menunjukkan bahwa kebijakan monopoli impor garam yang selama ini diamanahkan kepada PT Garam (Persero) perlu untuk direvisi dan dicari langkah regulasi lain yang lebih baik.

"Kejadian ini kembali membuktikan bahwa tidaklah bijaksana untuk memberikan hak monopoli kepada pihak manapun dalam proses perdagangan komoditas pangan strategis seperti garam," kata peneliti lembaga Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Hizkia Respatiadi, Senin.

Menurut Hizkia, minimnya persaingan usaha yang sehat akibat kebijakan monopoli itu dinilai justru memicu timbulnya praktek korupsi dan penyalahgunaan wewenang,

Selain itu, ujar dia, negara dirugikan akibat penghindaran pajak, terlebih lagi masyarakat yang dapat mengalami risiko kesehatan akibat mengonsumsi garam yang tidak diperuntukkan sebagai bahan pangan.

Sebagaimana diwartakan, hak monopoli yang diberikan kepada PT Garam justru disalahgunakan dengan cara mengganti rekomendasi impor garam konsumsi yang diterimanya dari KKP menjadi impor garam industri.

Dengan begitu, perusahaan tersebut terhindar dari kewajiban membayar bea masuk impor sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) Nomor 06/PMK/010/2017 tahun 2017.

Dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 125.M-DAG/PER/12/2015 tahun 2015 pasal 12, impor garam konsumsi hanya dapat dilakukan oleh BUMN yang bergerak di bidang usaha penggaraman, yang mana hingga saat ini hanya PT Garam yang memenuhi kriteria tersebut.

"Karenanya, perlu dilakukan revisi terhadap kebijakan pemberian hak monopoli bagi pihak manapun dalam proses importasi bahan-bahan pangan strategis," ujarnya.

Sementara itu, pemerintah juga dinilai perlu segera melakukan audit perizinan pelaksanaan impor garam terkait penetapan Direktur Utama PT Garam Achmad Boediono sebagai tersangka dalam kasus tindak pidana penyimpangan importasi dan distribusi garam industri.

"Hal yang paling mendesak adalah melakukan audit terhadap perizinan dan pelaksanaan impor garam," kata Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim di Jakarta, Senin.

Menurut Abdul Halim, kasus impor garam itu juga karena berbagai tambak dalam negeri selama ini tidak optimal diberdayakan sehingga memunculkan lobi tertutup impor garam.

Abdul Halim menilai Indonesia dapat mencontoh India yang telah membuat Komisi Pergaraman yang bertugas memastikan petambak garam mendapatkan jaminan asuransi jiwa dan kesehatan, termasuk berbagai sarana bagi anggota keluarga mereka.

Dengan demikian, lanjutnya, program petambak garam di negara tersebut lebih fokus dalam memproduksi garam berkualitas, serta produksi garam India pada tahun 2015 tercatat mencapai angka 26,89 juta ton, dengan 5,7 juta ton diekspor.

Berdasarkan data KKP, produksi garam nasional 2015 adalah sekitar 2 juta ton, dan pada 2016 jumlah produksi tersebut anjlok hingga mencapai sekitar 137.000 ton.

Untuk itu, ujar Abdul Halim, penting pula bagi pemerintah unutk melakukan pembenahan terhadap tata produksi dan niaga garam dengan menitikberatkan kepada upaya swasembada garam nasional.

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2017