Jakarta (ANTARA News) - Demokrasi, dalam teorinya, mudah dipahami dan dicerna. Tapi dalam praktiknya, pemerintahan berdasar mayoritas itu sering rumit bak benang kusut. Mahasiswa yang pernah belajar mengenai prinsip demokrasi pasti paham bahwa demokrasi ditegakkan di atas tatanan hukum yang disepakati bersama. Semua orang sama posisinya di hadapan hukum. Hukum adalah mahkota bagi demokrasi. Nyatanya, demokrasi bisa juga ditegakkan oleh modal. Mereka yang menyimak lahirnya undang-undang di parlemen akan tahu bahwa siapa yang mampu membayar lebih banyak pada legislator akan mereguk keuntungan lewat pasal-pasal yang diloloskan oleh politisi yang duduk di lembaga legislatif itu. Benang ruwet demokrasi kini juga sedang dipertontonkan warga Turki yang dalam waktu dekat ini akan memilih calon presiden. Turki yang menerapkan demokrasi dengan menegakkan sekularisme itu saat ini sedang diguncang wacana yang bagi orang Indonesia mungkin terasa muskil. Betapa tidak. Para warga Turki yang pembela sekularisme itu berang ketika Partai Pembangunan dan Keadilan (AKP) Turki yang berkuasa menyebut Menlu Abdullah Gul, politisi yang di masa lalu berhaluan Islamis, sebagai calon presiden dari AKP. Keberatan para sekularis itu bukan pada sepak terjang Gul sendiri yang, misalnya, dinilai antidemokratis atau otoriter. Tapi karena kebiasaan sang istri mengenakan kerudung. Kerudung yang dikenakan istri Gul sebenarnya tidak seeksklusif macam jilbab yang biasa dikenakan kaum hawa Taliban, tapi kerudung ala aktris Inneke Koesherawati atau model Ratih Sanggarwati yang modis. Meski begitu, warga prosekularis Turki berteriak memprotes pencalonan Gul. Mereka punya prasangka bahwa jika Gul menjadi presiden, busana kerudung yang mencitrakan wanita muslim itu akan dijadikan imperatif berbusana bagi warga perempuan Turki. Burcu Asli, yang unjuk rasa menentang pencalonan Gul, meneriakkan keberatannya sebagai berikut: "Kami tak punya masalah dengan jilbab. Tapi tidaklah tepat jika istri presiden mengenakan jilbab itu. Ini bukan soal politis. Kami cuma tak ingin melihat Turki menjadi Iran kedua," katanya. Alangkah muskilnya suara Burcu Asli, yang mahasiswa Universitas Bosphorus itu. Jika opini Burcu itu ditiru warga Indonesia saat kejatuhan Soeharto sembilan tahun silam, Gus Dur mungkin menuai protes karena sang istri, Shinta Nuriah, mengenakan kerudung yang biasa dikenakan kaum muslimat Nahdlatul Ulama. Sejauh ini belum ada jawaban dari Gul atau sang istri atas keberatan Burcu itu. Sebetulnya banyak alasan wanita mengenakan kerudung. Bisa jadi orang itu memang taat menjalankan aturan agamanya. Tapi ada juga yang punya alasan lain seperti merasa lebih nyaman atau lebih anggun mengenakan jilbab. Terlepas dari alasan-alasan itu, keberatan Burcu jelas beraroma prejudis. Burcu berhak protes jika setelah terpilih jadi presiden, Gul memaksakan kehendak untuk mewajibkan perempuan Turki berkerudung. Selama Gul tidak memaksakan kehendak itu, keberatan Burcu tak lebih dari sebuah kecemasan khayali semata. Itu sama saja memprotes calon presiden yang istrinya suka merokok. Protes Burcu terhadap jilbab istri presiden bisa juga dicurigai sebagai bagian dari konspirasi para industrialis di bidang kosmetika khusus perawatan rambut. Dengan mengenakan kerudung, istri Gul tak perlu pergi ke salon untuk menata rambutnya. Ia juga tak perlu mengecat warna rambutnya atau menghiasi rambutnya dengan aksesoris. Kapitalis kosmetika rambut yang bervisi jauh ke depan pasti cemas dengan gaya dandanan "first lady" yang berkerudung itu. Siapa tahu akan banyak wanita Turki yang meniru dandanan ibu negara. Mestinya, kapitalis bidang tekstil mendukung istri Gul karena industri jilbab akan meroket jika istri presiden mengenakan jilbab sehingga ada kemungkinan dia menjadi trendsetter busana. Pada akhirnya, ada ideologi kapitalis yang melandasi debat politik di Turki menyongsong pemilihan presiden. Turki yang mayoritas penduduknya Muslim telah memilih jalan sekularisme sejak Mustafa Kemal Ataturk yang berkuasa pada 1923, meneladani Swiss Civil Code sebagai konstitusi negara. Negara dan agama dipisah. Rintisan Ataturk itu cukup berhasil mengarahkan pikiran warga Turki hingga kini untuk konsisten di jalan sekularisme. Dalam jajak pendapat tahun lalu, sebanyak 76,2 persen warga Turki menentang keras ide pemerintahan theokratik berdasar hukum Islam. Borcu Asli adalah salah satu prototipe orang yang cemas jika Turki menapak jalan sebagaimana dilewati oleh Iran, yang memproklamirkan diri sebagai Republik Islam.(*)

Oleh Oleh Mulyo Sunyoto
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007