Gunung Sugih, Lampung Tengah (ANTARA News) - Sidang lanjutan perebutan aset antara PT Garuda Panca Arta (Sugar Group) dan perusahaan Grup Salim, di PN Gunung Sugih, Rabu, diwarnai adu argumentasi penasehat hukum kedua pihak yang bersengketa. Agenda sidang adalah mendengarkan duplik dari tergugat dilanjutkan pembuktian eksepsi. Dalam persidangan yang dipimpin hakim ketua Bahuri SH itu, penasihat hukum penggugat dan tergugat berupaya untuk mempertahankan pembuktian eksepsi tentang kewenangan mengadili. Penasihat Holdico (perusahaan yang dibentuk pemerintah dan Grup Salim untuk menjual aset milik keluarga Salim), Defrizal Djamaris, menyatakan bahwa PN Gunung Sugih tidak berhak mengadili perkara PT GPA dan Grup Salim itu. Alasannya adalah kasus itu sebelumnya, 4 Mei 2002, telah diselesaikan melalui pengadilan Singapore International Arbitration Center (SIAC) di Singapura. Selain itu, katanya, dalam pokok perkara Master Settlement and Aquisition Agreement (MSAA) itu merupakan perjanjian antara Pemerintah (BPPN) dan Salim Group sesuai dengan Pasal 1320 jo 1338 KUHP (Perdata) tentang sahnya perjanjian. Perjanjian dalam MSAA itu menyebutkan pemerintah tidak lagi mempersoalkan pelanggaran berupa penggelapan aset milik Grup Salim. Alasanya adalah Grup Salim telah melunasi hutangnya dengan menyerahkan 108 perusahaannya kepada BPPN yang nilainya setara Rp52 triliun. Hutang Grup Salim, lanjut dia, telah mendapatkan keterangan lunas dari BPPN tahun 2004 lalu. "MSAA itu perjanjian antara pemerintah dan Salim Group. PT GPA tidak punya hak untuk mengutak-atik persoalan perjanjian MSAA," ujarnya. Menurut dia, TAP MPR No 1 tahun 2001 menyebutkan memberikan kepastian hukum bagi obligor yang telah melunasi hutangnya kepada pemerintah. Sementara itu, penasihat hukum PT GPA Homan Paris Hutapea menyebutkan PT GPA menggugat perusahaan Grup Salim dengan kerugian senilai Rp 1,3 triliun. Grup Salim dinilai telah melanggar Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) berupa penggelapan aset di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Menurut Hotman, MSAA dibuat sebagai fasilitas luar biasa untuk seorang pelanggar batas minimum pemberian kredit (BMPK) dan salah pengelolaan di Bank BCA karena mengucurkan kredit BLBI ke perusahaan-perusahaan Grup Salim. Sidang perebutan aset itu juga diwarnai aksi demonstrasi, sejumlah mahasiswa menuntut pengemplang dana BLBI dihukum Pengujuk rasa itu menyatakan kasus BLBI pertama kali mencuat ketika BPK mengungkapkan hasil auditnya pada Agustus 2000. Berdasarkan audit BPK, dari Rp144,5 triliun dana BLBI yang dikucurkan kepada 48 bank umum nasional, Rp138,4 triliun dinyatakan berpotensi merugikan negara. Sidang ditunda tanggal 6 Juni 2007 dengan agenda putusan majelis hakim terhadap eksepsi (kewenangan mengadili).(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007