Jakarta (ANTARA News) - Penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menahan kenaikan harga barang elektronik, karena mampu menekan biaya produksi di tengah meningkatnya harga bahan baku yang sebagian besar masih impor. "Kalau rupiah kembali berada di atas Rp9.000 per dolar AS, maka harga barang elektronik akan naik 3-5 persen, karena harga bahan baku di dunia sedang meningkat," ujar GM Pemasaran dan Penjualan PT Sharp Electronics Indonesia (SEID), Iffan Suryanto, usai pertemuan wartawan dengan pimpinan SEID baru, Fumihiro Irie, di Jakarta, Kamis. Ia mengatakan saat ini harga sejumlah bahan baku utama produk elektronik sedang meningkat mencapai 50 sampai diatas 100 persen, seperti nikel, baja, timah, plastik, aluminium, dan lain-lain. "Kenaikan harga berbagai komoditas bahan baku tersebut memicu kenaikan biaya produksi, terutama untuk produk elektronik yang banyak memakai plat baja, timah, nikel, dan plastik," ujarnya. Beruntung, lanjut dia, di Indonesia, nilai tukar rupiah menguat sehingga biaya impor bahan baku baku bisa tertekan dan produsen bisa menahan kenaikan harga produk elektronik yang diproduksi dan dipasarkan di Indonesia. "Karena itu pula, meskipun nilai tukar rupiah menguat di bawah Rp9.000 per dolar AS, harga barang elektronik tidak turun, karena diimbangi dengan kenaikan harga bahan baku di dunia," katanya. Iffan mengatakan ketergantungan impor bahan baku yang masih tinggi dan harga komoditas yang meningkat saat ini menjadi salah satu kendala yang harus dihadapi para produsen elektronik, tidak hanya di Indonesia tapi juga di negara lain. "Kalau harga komoditas bahan baku terus meningkat dan rupiah kembali melemah, maka para produsen elektronik khususnya di dalam negeri akan kesulitan membuat harga yang bersaing," katanya. Menanggapi soal pasar elektronik di Indonesia pada triwulan pertama dan memasuki triwulan kedua, Iffan melihat ada kecenderungan penjualan elektronik di Indonesia tetap tumbuh rata-rata sekitar 20 persen, terutama untuk televisi dan pendingin suhu udara dalam ruangan (AC). "Dibandingkan tahun fiskal yang sama tahun lalu, pada Januari-Maret 2007, pasar elektronik di Indonesia tumbuh sekitar 20 persen, dan akan terus tumbuh, tinggal bagaimana pemerintah menghidupkan sektor riil dan menggalakkan pembangunan infrastruktur untuk memperkuat daya beli masyarakat," katanya. Presdir SEID Fumihiro Irie yang sebelumnya bertugas di Malaysia, mengatakan Indonesia memiliki potensi pasar yang besar dan Sharp membangun pabrik yang cukup kuat di Indonesia. "Potensi pasar yang besar itu merupakan tantangan bagi kami untuk memperkuat penetrasi pasar," ujarnya. Pada 2007, ia menargetkan SEID mampu membukukan penjualan sekitar Rp 4,6 triliun atau naik 193 persen dibandingkan tahun 2006 dengan menggenjot penjualan televisi khususnya LCD dan mesin cuci.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007