Tentu hak setiap orang ajukan praperadilan, silahkan saja. Kami akan hadapai sesuai hukum acara yang belaku sama seperti pihak lain yang kalau ada gugatan tentu kami jawab."
Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak mempermasalahkan jika Setya Novanto yang baru saja ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan paket penerapan KTP berbasis nomor induk kependudukan secara nasional (KTP-E) mengajukan praperadilan.

"Tentu hak setiap orang ajukan praperadilan, silahkan saja. Kami akan hadapai sesuai hukum acara yang belaku sama seperti pihak lain yang kalau ada gugatan tentu kami jawab," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Senin.

Lebih lanjut, Febri menyatakan KPK percaya dengan independensi kekuasan kehakiman jika memang nanti Setya Novanto resmi mengajukan praperadilan.

"Publik saat ini tentu saja melihat, melihat KPK melihat institusi pengadilan mengawal penanganan perkara ini. Jadi, kami berangkat dari kepercayaan bahwa Mahkamah Agung dan jajarannya akan bertindak seadil-adilnya dan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku," ucap Febri.

KPK menetapkan Ketua DPR Setya Novanto (Setnov) sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan paket penerapan KTP berbasis nomor induk kependudukan secara nasional (KTP-E) tahun 2011-2012 pada Kemendagri.

"KPK menemukan bukti permulaan yang cukup untuk menetapkan seorang lagi sebagai tersangka. KPK menetapkan saudara SN (Setya Novanto) anggota DPR RI periode 2009-2014 sebagai tersangka karena diduga dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena kedudukannya atau jabatannya sehingga diduga mengakibatkan kerugian negara sekurang-kurangnya Rp2,3 triliun dari nilai paket pengadaan sekitar Rp5,9 triliun dalam paket pengadaan KTP-e pada Kemendagri," kata Ketua KPK Agus Rahardjo di gedung KPK Jakarta, Senin.

Setnov disangka melanggar pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.

Menurut Agus, Setnov yang saat penganggaran dan pelaksanaan KTP-E itu berlangsung menjabat sebagai Ketua Fraksi Partai Golkar, berperan melalui seorang pengusaha bernama Andi Agustinus alias Andi Narogong.

"Saudara SN melalui AA (Andi Agustinus) diduga memiliki peran baik dalam proses perencanaan dan pembahasan anggaran di DPR dan proses pengadaan barang dan jasa KTP-E. SN melalui AA diduga telah mengondisikan peserta dan pemenang pengadaan barang dan jasa KTP-E," tambah Agus.

Agus menegaskan bahwa sebagaimana terungkap dalam fakta persidangan dua terdakwa sebelumnya yaitu mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kemendagri Irman dan mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) Kemendagri Sugiharto, Setnov berperan sejak perencanaan.

"Diduga perbuatan tersangka sudah dilakukan sejak perencanaan yang dilakukan dalam dua tahap yaitu penganggaran dan proses pengadaan barang dan jasa," tambah Agus.

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2017