Canberra (ANTARA News) - Kedutaan Besar RI di Canberra telah menyampaikan keberatan dan meminta penjelasan lebih lanjut kepada Departemen Luar Negeri dan Perdagangan (DFAT) Australia terkait dengan perlakuan tidak sopan dua polisi Sydney kepada Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso, dalam kunjungannya ke kota itu sebagai tamu Pemerintah New South Wales (NSW) "Pak Dubes (TM Hamzah Thayeb) telah menelepon wakil sekretaris DFAT terkait dengan masalah ini dan kita susul dengan pengiriman surat resmi hari ini," kata Juru Bicara KBRI Canberra, Dino Kusnadi, Rabu. Kedua polisi itu menyampaikan surat panggilan menghadiri pemeriksaan jaksa "Coroner Inquest" kasus "Balibo Five" 1975 kepada Gubernur Sutiyoso, dengan cara masuk ke kamar hotelnya dengan menggunakan kunci master kamar hotel. Dino mengatakan akibat insiden yang terjadi di kamar Hotel Shangri-La Sydney No 3107 tempat Sutiyoso menginap, Gubernur Sutiyoso dan rombongan pejabat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang mengunjungi Sydney sebagai tamu Pemerintah Negara Bagian New South Wales (NSW) mempercepat kunjungannya. "Pak Sutiyoso dan rombongan sudah pulang ke Jakarta via Singapura dengan pesawat yang berangkat dari Bandara Internasional Sydney, Selasa malam Pukul 22.00 waktu setempat. Dengan demikian, beliau membatalkan rencana kunjungannya ke Canberra pada 30 Mei," katanya. Sutiyoso adalah lulusan Akademi Militer Nasional 1968 dan pernah dilibatkan dalam operasi Flamboyan dan Seroja di Timor Timur pada 1975. Menyinggung tentang kronologis kejadian, Dino menjelaskan kedua orang polisi itu menemui Gubernur Sutiyoso yang sedang berada di kamarnya dengan menggunakan kunci master (master key) hotel, kendati yang membukakan pintu kamar itu adalah seorang petugas hotel yang mendampingi mereka. "Kejadian itu terjadi sekitar Pukul 16.00 waktu Sydney. Gubernur Sutiyoso tidak bersedia ditemui dan meminta ajudan untuk menemui kedua polisi ini di luar kamar. Gubernur Sutiyoso yang meminta mereka keluar," katanya. "Di situlah baru diketahui tujuan kedua polisi itu untuk menemui dia. Gubernur Sutiyoso merasa tersinggung karena keberadaannya di Sydney adalah sebagai tamu pemerintah New South Wales, dan penyerahan surat pemanggilan itu sama sekali tidak ada dalam daftar acara beliau," katanya. Kehadiran Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso di Sydney, seperti dikatakan Konsul Bidang Ekonomi Konsulat Jenderal RI Sydney, Kusno Wibowo Mazwar, dalam penjelasannya kepada ANTARA 25 Mei lalu, bertujuan untuk menandatangani nota kesepahaman (MoU) yang menandakan pengaktifan kembali kerja sama "provinsi kembar" (sister province) dengan Negara Bagian NSW. Sebelumnya, mantan Perdana Menteri Australia Gough Whitlam, yang memberikan keterangan di pengadilan Sydney pada 8 Mei, menyatakan tidak pernah melihat dokumen apa pun, yang menunjukkan tentara Indonesia memerintahkan pembunuhan terhadap lima wartawan Australia di Balibo, Timor Timur, tahun 1975 itu. Whitlam memenuhi panggilan pengadilan untuk memberikan bukti terkait dengan kematian Brian Peters, salah satu dari lima wartawan Australia, yang tewas dalam peliputan di Timor Timur tahun 1975. Menanggapi insiden ini, Pakar hukum internasional Universitas Indonesia (UI), Prof Hikmahanto Juwana menegaskan, Pemerintah Austalia harus menyampaikan permohonan maaf dan Pemerintah Indonesia juga harus mengeluarkan surat protes terhadap pemerintah Australia atas kejadian tersebut. Diungkit Sejak insiden itu terjadi 32 tahun lalu ketika aparat keamanan dan sukarelawan Indonesia masuk ke wilayah Timor Timur dalam proses integrasi wilayah itu ke dalam NKRI, masalah kematian lima wartawan Australia di Balibo itu tetap diungkit. Bahkan, nama mantan Menteri Penerangan semasa pemerintahan BJ Habibie, Yunus Yosfiah, terus terseret ke dalam pusaran masalah ini, padahal ia telah membantah semua tuduhan yang menyebutkan dirinya terlibat dalam pembunuhan lima wartawan Australia yang sedang bertugas di Balibo, Timor Timur, tahun 1975 itu. Seperti dikutip Harian Kompas edisi 23 Februari 2001, Yunus Yosfiah mengemukakan bahwa semua kesaksian dalam laporan tim PBB mengenai masalah tewasnya lima wartawan Australia itu adalah "bohong belaka". "Semua kesaksian itu bohong. Saya tidak pernah berjumpa dengan wartawan-wartawan itu secara langsung, apalagi membunuh mereka," kata Letjen (Purn) Yunus Yosfiah yang ketika peristiwa itu terjadi masih berpangkat kapten. Menurut dia, pertikaian di antara partai politik saat itu, yang mengakibatkan saling bantai di antara rakyat sipil. Sebenarnya apa yang disebut "Balibo Five"-sebutan bagi kasus terbunuhnya lima wartawan - sudah selesai pada 1996. Waktu itu, pihak otoritas di Australia menganggap lima wartawan itu tertembak dalam pertempuran. Tetapi pada 1998, muncul kesaksian baru yang mendorong Pemerintah Australia untuk menginvestigasi ulang. "Hasilnya sebenarnya tidak jauh berbeda dengan laporan pertama itu," katanya seperti dikutip Kompas enam tahun lalu. Penelurusan ANTARA juga mendapati adanya penegasan Duta Besar Australia untuk Indonesia tahun 1975, Richard Woolcott, bahwa pihaknya pun tidak mengetahui bahwa ada wartawan Australia atau warganegara Australia lainnya di Balibo pada waktu itu. Timor Timur sempat berintegrasi ke dalam NKRI atas permintaan rakyat Timor Timur melalui partai-partai UDT, APODETI, KOTA, dan TRABALHISTA dalam suatu deklarasi Integrasi di Balibo pada 30 November 1975. (*)

Copyright © ANTARA 2007