Realisasinya apakah bertemu?"
Jakarta (ANTARA News) - Pengacara Farhat Abbas menyebut bahwa istri Ketua DPR Setya Novanto pernah meminta untuk bertemu Elza Syarief terkait dengan kasus KTP-Elektronik.

"Apa dapat informasi dari Elza Syarif terkait komunikasi beliau dengan seseorang melalui aplikasi WhatsApp?" tanya jaksa penuntut umum (JPU) KPK Luki Dwi Nugroho dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.

"Iya ada, pada saat proses itu dipanggil melalui WhatsApp, waktu itu ingin bertemu dengan Ibu Elza. Istrinya Pak ketua umum Golkar, hanya ketemu saja Pak," jawab Farhat.

Farhat menjadi saksi untuk terdakwa anggota DPR dari fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani yang didakwa memberikan keterangan yang tidak benar dengan sengaja mencabut semua keterangannya yang pernah diberikan dalam BAP penyidikan dalam kasus korupsi KTP-E.

"Realisasinya apakah bertemu?" tanya ketua majelis hakim Frangkie Tumbuwun.

"Ketemu juga akhirnya Pak, hanya memang sepertinya ada sesuatu untuk membbicarakan persoalan itu. Tapi belakangan mungkin di-BAP berubah lagi seolah ada untuk urusan lain, begitu pak, tapi saya tidak ikut campur ke situ," jawab Farhat.

Farhat hanya mengaku bahwa pertemuan itu terjadi sebelum Elza Syarief diperiksa sebagai sasi untuk kasus KTP-E di KPK.

"Yang saya tahu untuk bertemu mungkin karena Bu Elza sebagai saksinya (KTP-E) sebelum diperiksa itu saja. Buktinya kan waktu (di penyikan) itu saya dikasih rekamannya Pak, ada saya jadikan bukti itu, disita kan," ungkap Farhat.

"Tapi saudara tidak tahu persis apa pertemuannya?" tanya hakim Frangkie.

"Hanya upaya pertemuan, tapi belakangan sudah ketemu tapi mungkin di BAP berikutnya mereka klarifikasi hanya untuk tujuan lain, saya tidak tanya lagi apa yang dibicarakan," ungkap Farhat.

Farhat menceritakan hal itu sesuai dengan penuturan Elza Syarief kepada dirinya selaku pengacara Elza.

Terhadap keterangan Farhat, Miryam mengatakan Farhat banyak berbohong.

"Keterangan saksi ini di BAP secara rinci dan keterangannya dari Bu Elza dan media massa, saya rasa dia tidak tahu kebenarannya apakah benar atau tidak, jadi saya rasa banyak keterangan tidak benar yagn disampaikan di sini. Jadi Farhat Abbas mohon dijadikan tersangka seperti saya memberikan keterangan yang tidak benar," kata Miryam.

"Ibu mengatakan seperti ibu semudah mencabut BAP di persidangan," ungkap Farhat.

Dalam perkara ini, Miryam didakwa memberikan keterangan yang tidak benar dengan sengaja memberikan keterangan dengan cara mencabut semua keterangannya yang pernah diberikan dalam BAP penyidikan yang menerangkan antara lain adanya penerimaan uang dari Sugiharto dengan alasan pada saat pemeriksaan penyidikan telah ditekan dan diancam oleh 3 orang penyidik KPK padahal alasan yang disampaikan terdakwa tersebut tidak benar. Pencabutan BAP itu terjadi dalam sidang pada Kamis, 23 Maret 2017.

Selanjutnya pada Kamis, 30 Maret 2017 JPU menghadirkan kembali Miryam di persidangan bersama 3 penyidik yaitu Novel Baswedan, MI Susanto dan A Damanik. Ketiga penyidik itu menerangkan bahwa mereka tidak pernah melakukan penekanan dan pengacaman saat memeriksa terdakwa sebagai saksi, lebih lanjut diterangkan dalam 4 kali pemeriksaan pada 1, 7, 14 Desember 2016 dan 24 Januari 2017 kepada terdakwa diberi kesempatan untuk membaca, memeriksa dan mengoreksi keerangannya pada setiap akhir pemeriksaan sebelum diparaf dan ditandatangani Miryam.

Setelah mendengar keterangan 3 penyidik KPK, hakim kembali menayakan kepada Miryam terhadap keterangan tersebut. Atas pertanyaan hakim, Miryam tetap pada jawaban yang menerangkan bahwa dirinya telah ditekan dan diancam penyidik KPK saat pemeriksaan dan penyidikan serta dipaksa mendatangani BAP sehingga Miryam tetap menyatakan mencabut semua BAP termasuk keterangan mengenai penerimaan uang dari Sugiharto.

Terhadap perbuatan tersebut, Miryam didakwa dengan pasal 22 jo pasal 35 ayat 1 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU no 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 64 ayat 1 KUHP yang mengatur mengenai orang yang sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar dengan ancaman pidana paling lama 12 tahun dan denda paling banyak Rp600 juta.

Pewarta: deca Lidya Natalia
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2017