Sydney (ANTARA News) - Australia akan memasok vaksin flu burung (avian influenza /AI)ke Indonesia segera setelah cadangan di negara itu ada, namun Menteri Kesehatan dan Penuaan Australia, Tony Abbott, tak menjelaskan waktu pengiriman dan apakah diberikan secara gratis seperti kebijakan yang akan diambil Partai Buruh Australia (ALP). "Kami tentunya memberikan di fase awal, pasokan antiviral ke Indonesia. Itu yang kami lakukan untuk antiviral segera setelah kami memiliki cadangan di negara ini. Saya tidak melihat adanya alasan untuk tidak melakukan hal yang sama dengan vaksin," katanya di Sydney, Kamis. Penjelasan itu disampaikannya kepada pers beberapa saat sebelum ia memimpin pertemuan tingkat menteri kesehatan APEC, menjawab pertanyaan apakah pemerintah koalisi yang berkuasa akan melakukan hal yang sama dengan yang dijanjikan Partai Buruh Australia (ALP). Sebelumnya, ALP akan memberikan vaksin secara gratis kepada Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara lain yang terjangkit wabah flu burung. Tony Abbott mengatakan sebenarnya pemerintah pada tahap ini sudah memiliki cadangan vaksin dalam jumlah besar yang dihasilkan Australia, namun pada tahap ini pemerintah belum masuk pada fase pengiriman vaksin apapun dari CSL. "Kita memiliki vaksin pre-pandemi yang efektif saat ini sebelum kita berbicara tentang hal itu secara berarti, kita masih melanjutkan pemakaian Aturan Kemitraan Kawasan (Code Regional Mateship) untuk Australia," katanya. Menjawab pertanyaan ANTARA tentang hasil pertemuannya dengan Menkes Siti Fadilah Supari, Tony Abbott mengatakan pembicaraan itu "sangat berguna" dan dalam beberapa tahun terakhir ini, mereka sudah sering melangsungkan pembicaraan tentang berbagai isu kerja sama bilateral bidang kesehatan. "Isu utama dalam pertemuan itu adalah pertanyaan tentang `virus sharing` (berbagi sampel virus H5N1). Saya senang bahwa Indonesia sudah kembali melakukan pengiriman sampel virus. Ini sangat penting bagi seluruh dunia bahwa kita mendapatkan sampel virus bagi kepentingan studi dan analisa mendalam, dan jika kita dapat memproduksi vaksin dari sampel virus tersebut ..." "Sangatlah penting bagi kita untuk memiliki sistem yang fair. Dan, saya tentunya sangat memahami kekhawatiran Indonesia yang telah juga diungkapkan bahwa tentunya lebih mudah bagi negara-negara, seperti Australia, Inggris, dan Amerika Serikat, untuk membeli vaksin. Tidak demikian halnya dengan negara-negara seperti Indonesia," katanya. Karena itu, Tony Abbott mengemukakan sangat penting adanya aturan internasional yang fair, mengingat fakta bahwa beberapa negara yang terjangkit memiliki sampel virus flu burung, sedangkan beberapa yang lain memiliki vaksinnya. Buku Laporan Kementerian Kesehatan dan Penuaan Australia tentang rencana manajemen pandemi influenza 2006 yang diperoleh wartawan di sela pertemuan Menkes APEC di Sydney, menyebutkan awal 2007, Australia menyediakan 8,75 juta "courses" (pengobatan) antiviral Tamiflu dan Relenza sebagai cadangan yang siap pakai. Dengan cadangan sebanyak itu, Australia merupakan salah satu negara dengan cadangan Tamiflu dan Relenza terbesar di dunia. Disebutkannya cadangan sebanyak 8,75 juta "courses" antiviral Tamiflu dan Relenza hingga awal 2007 itu siap digunakan dalam waktu 24 jam jika diperlukan. Selain itu, Pemerintah Australia juga sudah menyiapkan dua juta masker "P2", 40 juta masker bedah serta berbagai sarung tangan dan peralatan medis lain yang diperlukan. Kerjasama Sementara itu, Menkes Siti Fadilah Supari mengatakan kesepakatan antara Indonesia dan Australia tentang kerja sama pembuatan vaksin flu burung (H5N1) masih menunggu proses sehari atau dua hari ini, karena Indonesia ingin memastikan dahulu tentang manfaat yang akan diperolehnya dari mengirim sampel virus ke negara benua itu. "Kita menunggu kesepakatan dalam sehari-dua hari ini. Soalnya harus ada 'deal' (kesepakatan) dulu antarpemerintah. Nah, 'deal' itu sekarang ini belum. Masih akan dibicarakan lebih lanjut lagi," katanya, seusai pertemuannya dengan Tony Abbott. Menurut Menkes, dalam pertemuan bilateralnya itu, kedua pihak baru membicarakan perihal kerja sama untuk pembuatan vaksin jika kedua negara sepakat dalam "sharing virus" dan "sharing benefit" (berbagi virus dan berbagai manfaat dari pembuatan vaksin dari sampel virus yang dikirim-red). "Problemnya sekarang ini adalah (di tingkat) internasional hal itu tidak ada guideline-nya. Nah menurut guideline (pedoman) yang mana kalau kita mau mengirim virus. Nah itu belum ada. Kita menunggu kesepakatan dalam sehari-dua hari ini," katanya. Terkait dengan masalah pengiriman contoh virus flu burung, Indonesia pernah menghentikan pengirimannya ke laboratorium kolaborasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di Tokyo sebagai bentuk protes terhadap perusahaan farmasi yang menggunakan turunan vaksin asal Indonesia tanpa memberitahu Jakarta. Akibat wabah flu burung (H5N1) ini, industri perunggasan Indonesia misalnya mengalami kerugian hingga Rp13 triliun antara tahun 2003 dan 2005. Secara global, total kerugian yang diderita industri peternakan dunia mencapai dua miliar dolar AS atau Rp18,282 triliun (1 dolar AS=Rp9.141-red) selama kurun waktu September 2005 hingga September 2006. Selain kerugian ekonomi, H5N1 juga telah merenggut banyak nyawa warga negara anggota ekonomi APEC. Indonesia tercatat sebagai anggota APEC yang terbanyak memiliki kasus H5N1, yakni hingga Mei lalu mencapai 98 kasus, 78 di antaranya meninggal dunia. Di China hingga 4 Juni 2007, kementerian kesehatan negara itu melaporkan 25 kasus H5N1, 16 di antaranya meninggal dunia. Forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) itu beranggotakan Indonesia, Australia, AS, Brunei, Kanada, Chile, RRC, Hong Kong, Taiwan, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Meksiko, Selandia Baru, Papua Nugini , Peru, Filipina, Rusia, Singapura, Thailand, dan Vietnam. (*_

Copyright © ANTARA 2007