Jakarta (ANTARA News) - Tubuh yang gemuk pernah menjadi simbol kemakmuran, tapi kajian medis menunjukkan lemak yang tertimbun dalam badan yang tambun itu justru sumber penyakit. Kajian itu sama sebangun dengan keadaan state enterprises alias BUMN di Indonesia, yang kini mengalami gejala "kegemukan", saking banyaknya ragam perusahaan pelat merah di tanah air. Akibatnya, bukan sumbangan deviden atau setoran pajak besar yang didapat negara, tapi beban pikiran pemerintah kerap bertambah karena "saking" banyaknya masalah dalam tubuh BUMN. Kini terdapat 139 BUMN di Indonesia dan di antaranya masih ada 20 BUMN yang harus menanggung akumulasi keuangan rugi akibat mendapat beban PSO (Public Service Obligation) maupun karena memang benar-benar rugi. Total aset BUMN pada 2006 mencapai Rp1,361 triliun dengan capex (capital expenditure)/investasi sebesar Rp70,10 triliun. Menteri Negara BUMN Sofyan Djalil mengatakan, perusahaan BUMN banyak menanggung beban masa lalu yang membuat aksi korporasi menjadi tidak lincah sehingga harus direstrukturisasi. "Banyak beban masa lalu yang ditanggungkan pada BUMN sehingga beban BUMN menjadi tidak wajar," kata Sofyan. Ia mencontohkan soal RDI dan SLA, di mana pemerintah yang meminjam tetapi dibebankan kepada BUMN. Oleh karena itu, pihaknya kini tengah berupaya untuk merestrukturisasi BUMN. Salah satu kajian untuk meningkatkan kinerja BUMN yang telah digulirkan sejak masa Meneg BUMN Sugiharto adalah program "righsizing". "Righsizing" ditujukan untuk mendorong BUMN menjadi lebih kompetitif dan mampu bersaing dalam kompetisi global. Program tersebut diterapkan dengan menata kembali jumlah BUMN melalui perbaikan skala usaha dan konsolidasi sumberdaya BUMN melalui kebijakan "stand alone", merger/akuisisi, holding, divestasi, dan likuidasi. Kebijakan "rightsizing" sebelumnya pernah diterapkan antara lain melalui "regrouping" BUMN Perkebunan dari 32 perusahaan menjadi 14 perusahaan pada 1995. Contoh lain adalah holding BUMN pupuk dari lima perusahaan menjadi satu perusahaan pada 1997 dan juga merger empat bank BUMN pada 1999. Fakta di lapangan menunjukkan rata-rata kinerja PTPN meningkat dibandingkan sebelumnya. Saat ini dari 139 BUMN yang ada, sebanyak 22 BUMN terbesar di antaranya menguasai lebih dari 90 persen aset dan ekuitas, hampir 90 persen penjualan, dan hampir 80 persen laba bersih. Dalam program "rightsizing", BUMN yang akan masuk dalam kategori merger/akuisisi antara lain BUMN sektor angkutan darat, dok dan perkapalan, perdagangan, pergudangan, pariwisata, dan pendukung pertanian. Sedangkan BUMN yang masuk dalam kategori holding antara lain perkebunan, pertambangan, konstruksi, industri strategis, kawasan, dan kebandarudaraan. 50 BUMN Menteri Negara BUMN mengatakan, dalam kajian awal melalui rightsizing diharapkan dari 139 BUMN akan menjadi 102 BUMN (pada akhir 2007), menjadi 87 BUMN (akhir 2008), menjadi 69 (akhir 2009), dan menjadi 50 BUMN (akhir 2015). Menurut dia, diharapkan pada periode selanjutnya tidak akan ada lagi kementerian negara BUMN. "Kalau BUMN sudah efisien dan sehat, saya harap dalam beberapa tahun mendatang kementerian ini tidak ada lagi karena tidak perlu lagi ada," katanya. Tercatat sejumlah kemajuan soal pelaksanaan restrukturisasi sepanjang 2004 hingga 2007. Misalnya pada BUMN perikanan yang telah melaksanakan RUPS LB (Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa) tentang penggabungan empat BUMNB Perikanan, yaitu PT Samodra Besar, PT Tirta Raya Mina, PT Perikani, dan PT Usaha Mina menjadi satu, yaitu PT Perikanan Nusantara (Persero). Saat ini sedang dalam penyiapan neraca penutupan serta pembukaan. Sementara itu untuk BUMN Perkebunan telah dilakukan kajian oleh konsultan Danareksa Sekuritas dan Bahana Securities. BUMNB industri stretegis, seperti PT Krakatau Steel, PT BI, PT BBI, PT Pal, PTB INKA telah dikaji konsultan AAJ dengan rekomendasi strategi holding company. "Dan untuk BUMN farmasi sudah ada kajian konsultan PT Mandiri Sekuritas dengan rekomendasi pembentukan holding farmasi," kata Sofyan. Terakhir untuk PT ISI, kini dalam proses persiapan likuidasi karena tidak kemungkinkan untuk dilakukan kebijakan lain. Menteri bertekad untuk menjadikan BUMN sebagai pelaku utama yang kompetitif di industrinya. "Dengan jumlah yang lebih sedikit maka fokus perhatian akan lebih intens sehingga upaya peningkatan daya saing BUMN berdasarkan capital market dan protokol terwujud," katanya. Ia juga menekankan pihaknya tidak akan membebani perseroan terlalu berat dengan memungut deviden besar bahkan bila perlu dana deviden tidak akan diambil dan ditujukan untuk ekspansi bisnis. Target deviden 2006 sebesar Rp20,800 milyar dalam realisasinya justru mencapai angka Rp20,994 milyar. Hal itu menunjukkan BUMN semakin kuat posisi keuangannya dan diharapkan terus menguat pascarestrukturisasi termasuk rightsizing. Rightsizing memang hanya salah satu jalan untuk mencari sinergi antar BUMN dan memperbaiki private public partnership untuk meningkatkan nilai. Dari sanalah mimpi untuk efisiensi dan produktivitas BUMN yang optimal akan terwujud. "Tentu saja pelaksanaan Good Corporate Governance juga dimantapkan untuk meminimalkan cost of regulation," demikian Sofyan Djalil.(*)

Oleh Oleh Hanni Sofia
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007