Jakarta (ANTARA News) - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat kinerja ekspor pada April 2007 turun 3,7 persen dibandingkan Maret 2007. Meski periode Januari-April 2007 mengalami kenaikan 14,82 persen dibandingkan Januari-April 2006, namun penurunan ekspor pada April perlu diwaspadai. Sebab, sekarang ini, selain konsumsi dalam negeri, ekspor menjadi andalan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, setelah investasi mengalami stagnasi beberapa tahun terakhir ini. Ekspor juga diperlukan dalam penciptaan lapangan kerja, sekaligus meningkatkan pendapatan. Namun, kinerja ekspor Indonesia kini tertinggal dibandingkan negara-negara pesaingnya di kawasan, seperti China, Korea Selatan dan bahkan dengan Malaysia, Thailand dan Vietnam. Banyak faktor yang menjadi sebab kurangnya daya saing ekspor Indonesia, antara lain ekonomi biaya tinggi, buruknya infrastruktur dan lemahnya iklim investasi. Apresiasi rupiah terhadap dolar AS yang cukup tajam juga dituding menjadi penyebab turunnya nilai ekspor Indonesia. Nilai tukar rupiah mengalami penguatan dari Rp9.000 menjadi sekitar Rp8.800 dalam beberapa pekan terakhir. Meski, sempat terdepresiasi hingga menembus Rp9.000 per dolar Jumat lalu, Direktur Perencanaan Strategis dan Humas Bank Indonesia (BI) Budi Mulia meyakini hanya bersifat sementara. Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS merosot 55 poin menjadi Rp9.030/9.040 dibandingkan penutupan hari sebelumnya yang Rp8.875/8.929 per dolar AS. Menurut Budi, pelemahan tersebut merupakan akibat aksi ambil untung dan efek global di akhir minggu. Pengamat ekonomi Fadhil Hasan mengatakan, penguatan rupiah bisa saja menjadi penyebab penurunan ekspor, meski tidak terlalu signifikan. Ia mengatakan, penurunan ekspor lebih banyak dikarenakan penurunan produksi manufaktur dalam negeri. "Tidak ada pilihan lain, efisiensi industri manufaktur harus ditingkatkan agar dapat bersaing dengan luar negeri," ujarnya. Akan tetapi, menurut Menko Perekonomian Boediono, penurunan ekspor tidak terkait dengan apresiasi rupiah. Menurut dia, meski ekspor April turun, namun selama empat bulan pertama 2007 jauh lebih baik dibanding dengan periode sama tahun sebelumnya. Stabil Naik-turunnya rupiah dikhawatirkan dunia usaha. Kalangan usaha berharap rupiah stabil di kisaran Rp9.000 per dolar AS. Dengan nilai tukar yang stabil akan menjamin eksportir menghitung biaya yang dikeluarkan. Ketua Umum Kadin Indonesia, MS Hidayat, berharap kurs dapat terjaga di kisaran Rp9.000 per dolar AS agar meningkatkan daya saing ekspor Indonesia. Keinginan pengusaha tersebut mendapat dukungan BI. Gubernur BI Burhanuddin Abdullah juga menganggap, kurs rupiah terhadap dolar AS yang nyaman bagi eksportir maupun importir adalah Rp9.000 per dolar AS. Menurut dia, para importir nyaman dengan kurs Rp8.500 hingga Rp9.000 per dolar AS, sedangkan eksportir lebih suka dengan kisaran Rp9.000 sampai Rp9.500 per dolar AS. "Kalau dirata-rata, maka garis tengahnya adalah Rp9.000 per dolar AS," katanya. Meski demikian, Burhanuddin mengatakan, pihaknya tidak akan mematok rupiah pada level tertentu. Sebenarnya, kinerja ekspor bisa tertolong dengan penurunan suku bunga yang terjadi belakangan ini. Penurunan suku bunga tersebut diharapkan semakin memacu peningkatan usaha yang pada akhirnya meningkatkan ekspor. BI kembali menurunkan suku bunga acuan (BI Rate) pada Juni 2007 sebesar 25 basis poin dari 8,75 persen menjadi 8,5 persen. Penurunan BI Rate itu merupakan kesekian kalinya sejak April 2006 yang masih 12,50 persen. Boediono menilai, penurunan BI Rate sudah sesuai dengan kondisi makro ekonomi yang terus membaik mulai inflasi yang menurun, kurs rupiah yang stabil, dan arus dana asing yang masih cukup kuat. Menurut dia, penurunan BI Rate ini diharapkan menjadi sentimen positif untuk mendorong percepatan pertumbuhan sektor riil. Namun, penurunan suku bunga belum berdampak secara langsung ke peningkatan ekspor, karena daya serap kredit usaha juga masih lamban. Memang, penguatan rupiah akan menurunkan tingkat inflasi, tapi juga mengakibatkan barang ekspor Indonesia menjadi lebih mahal. Akan tetapi, di sisi lain, depresiasi akan lebih beresiko karena meningkatkan inflasi. Sehingga, kestabilan rupiah agaknya menjadi harapan semua pihak. (*)

Pewarta: Oleh Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2007