Bandarlampung (ANTARA News) - Jakarta senantiasa menjadi barometer politik dan demokrasi Indonesia. Tak terkecuali Pilkada Gubernur DKI Jakarta yang akan digelar 8 Agustus 2007 mendatang. Pesta demokrasi itu akan menjadi "kaca benggala" bagi pelaksanaan Pilkada daerah-daerah lain dan juga menjadi tolok ukur komunitas internasional, dalam menilai pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Dapatkah Jakarta menjadi contoh yang baik dalam Pemilihan Kepala Daerah, yang akan memimpin pada periode 2007-2012?. Pertanyaan itu seharusnya sudah terjawab ketika hanya dua pasang calon gubernur- wakil gubernur yang ditetapkan parpol-parpol, yakni pasangan Adang Daradjatun-Dani Anwar yang diusung PKS dan Koalisi Jakarta (gabungan 20 parpol) yang mengusung pasangan Fauzi Bowo dan Prijanto. Adang Daradjatun adalah mantan Wakil Kapolri yang pangkat terakhirnya adalah Komisaris Jenderal (Komjen), sedang Prijanto adalah Mayjen TNI AD yang jabatan terakhirnya adalah Asisten Teritorial Kasad. Dani Anwar adalah kader PKS, sedang Fauzi Bowo adalah Wakil Gubernur DKI Jakarta. Untuk memimpin Jakarta yang merupakan Ibukota Negara, parpol- parpol tentunya tidak "kesulitan" mencari tokoh-tokoh yang representatif diusung sebagai calon kepala daerah. Namun kenyataanya, parpol-parpol berdasarkan "pertimbangan parpol" memutuskan hanya dua calon itu yang dianggap "pantas" dipilih penduduk Jakarta sebagai gubernurnya. Awalnya, parpol-parpol terlihat akan memberikan banyak alternatif kepada warga Jakarta, ketika parpol-parpol besar mengundang sejumlah tokoh untuk mengikuti seleksi internal parpol sebelum penetapan calon, di antaranya Sarwono Kusumaatmadja, Agum Gumelar, dan Faisal Basri Warga Jakarta sepertinya akan diberikan pilihan yang luas dengan memperhatikan semangat pasal 59 UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 59 itu menyebutkan bahwa parpol atau gabungan parpol dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 15 persen dari jumlah kursi DPRD atau 15 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam Pemilu anggota DPRD di daerah yang bersangkutan. Artinya, calon gubernur harusnya diatas 3 pasang, karena PDIP, PD, dan PKS sendiri bisa mengajukan calonnya jika mengacu pada pasal 59 itu. Pasal 59 itu juga menyebutkan bahwa partai politik atau gabungan partai politik wajib membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi bakal calon perseorangan yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam pasal 58, dan selanjutnya memproses bakal calon dimaksud melalui mekanisme yang demokratis dan transparan. Juga disebutkan agar parpol dan gabungan parpol memperhatikan pendapat dan tanggapan masyarakat dalam penetapan calon. Dalam penjelasannya, yang dimaksud mekanisme demokratis dan transparan adalah mekanisme yang berlaku dalam parpol atau gabungan parpol, sementara syarat-syarat calon kepala daerah diantaranya adalah setia kepada Pancasila dan UUD 1945, berpendidikan sekurang-kurangnya SLTA, berusia di atas 30 tahun, dan sehat jasmani. Namun, sayangnya parpol terlihat lebih mengutamakan kepentingannya, ketimbang keinginan warga Jakarta. Pada Pilkada Gubenur pada 8 Agustus, warga Jakarta "dipaksa" memilih salah satu dari 2 pasang calon yang ditetapkan parpol. Jika dibandingkan dengan Pilkada Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Pilkada Jakarta masih kurang demokratis, karena hak-hak politik warga Jakarta masih kurang terakomodasi. Pilkada Aceh diikuti 8 pasangan calon gubernur dan membolehkan calon independen maju sebagai calon gubernur sebagaimana diatur dalam UU No 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Pasangan lewat jalur independen, Irwandi Yusuf- M Nazar, bahkan akhirnya terpilih sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur NAD melalui suatu proses pemilihan yang aman dan demokratis. Menguat Ketika calon independen mengalahkan calon yang diusung parpol dalam Pilkada Gubernur dan Pilkada Bupati di wilayah Provinsi NAD tahun lalu, upaya memperjuangkan perlunya calon independen dalam Pilkada sebenarnya telah makin menguat. Lebih dari 300 Pilkada telah dilaksanakan di Indonesia sejak pertengahan tahun 2005 dengan ongkos politik yang sangat besar, terutama yang harus ditanggung calon kepala daerah. Ketentuan "dicalonkan parpol atau gabungan parpol" sebagaimana diatur dalam pasal 59 seringkali menjegal calon potensial kepala daerah, terutama yang tidak memiliki dukungan keuangan yang kuat, sehingga kehidupan demokrasi masih dimonopoli oleh parpol. Melihat kenyataan itu, termasuk dalam penyelenggaraan tahapan Pilkada di Jakarta, desakan dibolehkannya calon independen semakin menguat, apalagi UU No 32 tahun 2004 rencananya direvisi usai selesainya pembahasan paket UU Politik. Uji materil atas UU No 32 tahun 2004, seperti atas pasal 59, telah lebih dari enam kali diajukan ke Mahkamah Konstitusi periode 2004-2005. Terakhir MK menolak uji materil UU No 32 tahun 2004 yang diajukan oleh anggota DPRD Lombok Tengah, Lalu Ranggalawe. Uji materil itu juga diusung berbagai kalangan agar calon kepala daerah dimungkinkan dari jalur independen. Belakangan ini, sejumlah tokoh, yang tidak bisa masuk ke Pilkada Gubernur Jakarta melalui jalur partai politik, mendeklarasikan diri sebagai calon gubernur independen, seperti Sarwono Kusumaatmadja dan Laksma (Purn) Mulyo Wibisono. Pendeklarasian itu dimaksudkan agar warga mendapatkan keadilan dan pilihan yang lebih banyak dalam memilih kepala daerahnya. Selain itu, parpol diharapkan membenahi diri agar keberadaannya tetap diakui oleh masyarakat. Kini dukungan dibolehkannya calon independen semakin menguat dari berbagai kalangan di seluruh wilayah Indonesia. Survey LSI yang menyebutkan mayoritas warga Jakarta cenderung memilih calon kepala daerah yang tidak dicalonkan oleh parpol juga memperkuat dukungan atas calon independen itu. Menurut Direktur Eksekutif Walhi, Selamet Daroyni, calon independen diperlukan untuk pembelajaran politik bagi masyarakat. Usulan seperti itu juga didukung Poros Jakarta untuk Demokrasi yang terdiri atas belasan LSM antara lain Walhi Jakarta, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Indonesian Corruption Watch (ICW), Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), dan Urban Poor Consorsium (UPC). Para calon gubernur yang gagal mengikuti Pilkada juga mendukung calon independen itu, seperti Agum Gumelar, Sarwono, dan Faisal Basri. Gubernur DKI Sutiyoso juga menyatakan dukungannya atas calon independen seperti di Aceh, agar masyarakat memiliki banyak pilihan. Analisis politik, seperti Dr J Kristiadi juga mendukung calon independen, terutama dalam melawan oligarki parpol. Ahli politik LIPI Syamsudin Haris mengatakan calon independen merupakan salah bentuk mengakomodasi hak-hak politik warga. Dukungan juga datang dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Menurut wakil ketuanya, Laode Ida, pembatasan hak pilih dalam Pemilu dan Pilkada telah melanggar UUD 1945. Melihat besarnya dukungan masyarakat serta dalam upaya meningkatkan partisipasi politik masyarakat dalam Pilkada, maka "perjuangan" menyukseskan calon independen, atau terselenggaranya Pilkada yang lebih akomodatif dan demokratis, agaknya terus bergulir ke MK, maupun menjelang dilaksanakannya revisi UU No 32 tahun 2004 tentang Pemda pasca selesainya pembahasan paket UU Politik.(*)

Oleh Oleh Hisar Sitanggang
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007