Kota Gaza (ANTARA News) - Fatah keluar dari pemerintah persatuan dengan Hamas, Selasa malam, saat pertempuran antara kedua faksi Palestina bertambah sengit menjadi apa yang disebut oleh Presiden Mahmoud Abbas sebagai "perang saudara yang buruk". Aktivis garis keras Hamas tak lama sebelumnya mengambil-alih markas penting Pasukan Keamanan Nasional, yang berafiliasi pada Fatah, di bagian utara Jalur Gaza, setelah beberapa jam pertempuran yang menewaskan 21 orang, kata beberapa saksi mata dan sumber keamanan. Hamas dan pasukan keamanan mengkonfirmasi bahwa kompleks tersebut telah sepenuhnya dikuasai oleh anggota Hamas. Setelah serbuan Hamas, Komite Sentral gerakan Fatah bersidang di Ramallah, Tepi Barat Sungai Jordan, dan memutuskan untuk menghentikan keikut-sertaan para menterinya dalam pemerintah persatuan sampai pertempuran berakhir. Koalisi gabungan Fatah-Hamas disepakati pada Maret, menyusul pertemuan tingkat tinggi di Makkah, Arab Saudi, dalam upaya mengakhiri lingkaran kerusuhan yang sebelumnya kadangkala terjadi. Selasa pagi, sayap bersenjata Hamas, Brigade Al-Qassam, mengumumkan Jalur Gaza sebagai "daerah militer tertutup" dan mengeluarkan ultimatum agar semua anggota pasukan keamanan yang didominasi Fatah meninggalkan markas mereka "dalam waktu dua jam dari sekarang". Beberapa pejabat Fatah menuduh Hamas menguasai status yang lebih layak dipikul oleh "tentara" dan menyebut tindakan tersebut sebagai upaya untuk melancarkan "kudeta" terhadap berbagai lembaga yang berafiliasi pada Presiden Mahmoud Abbas, seorang anggota Fatah. Tujuh orang dilaporkan tewas dalam berbagai peristiwa antara pria bersenjata anggota Hamas dan Fatah selama hari itu, sehingga jumlah korban jiwa dalam dua hari terakhir pertempuran antar-faksi jadi 43, kata Mo`aweya Hassanein, dari Kementerian Kesehatan Palestina. Tanda mengkhawatirkan? Sementara itu, Perdana Menteri Israel Ehud Olmert, yang bertemu dengan Menteri Luar Negeri Belanda Maxime Verhagen, mengatakan kerusuhan paling akhir tersebut adalah suatu tanda yang mengkhawatirkan, demikian antara lain isi pernyataan yang dikeluarkan oleh kantornya. "Jika Jalur Gaza akhirnya jatuh ke tangan Hamas, ini akan memiliki kepentingan regional yang sangat besar," katanya, seperti dilansir DPA. Olmert mengatakan Barat mesti secara sungguh-sungguh mempertimbangkan utuk menempatkan pasukan multi-nasional di perbatasan Jalur Gaza selatan, guna mencegah bertambah-kuatnya anasir fanatik. Perdana Menteri Palestina Ismail Haniya, dari Gerakan Perlawanan Islam (Hamas), mengeluarkan pernyataan Selasa malam. Dalam pernyataan itu, ia menyerukan diakhirinya pertempuran dan dilanjutkannya perundingan antara Fatah dan Hamas. Dalam pernyataan tersebut, ia menuduh "faksi sekuler Fatah pimpinan Mahmoud Abbas tak mendukung kepemimpinan politik" di Palestina. Abbas sebelumnya mengeluarkan seruan bagi kedua faksi Palestina yang bertikai, guna menyerukan gencatan senjata segera di Jalur Gaza untuk mengakhiri bentrokan berdarah. "Abbas menyeru setiap orang untuk menghentikan pertempuran antar-faksi dan segera memulai dialog. Ia juga ... mendesak setiap orang agar menempatkan kepentingan nasional lebih tinggi daripada kepentingan pribadi sempit dan memelihara masa depan, sejarah dan darah rakyat Palestina," demikian isi suatu pernyataan presiden. Pernyataan tersebut menuduh sekelompok kecil pimpinan, termasuk mereka yang tak senang dengan kesepakatan persatuan nasional antara Fatah dan Hamas, membawa negara itu ke kancah perang saudara yang buruk. (*)

Copyright © ANTARA 2007