Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan memeriksa mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai tersangka kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

"Yang bersangkutan diperiksa sebagai tersangka korupsi pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) tahun 2004 sehubungan dengan pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Senin.

KPK saat ini tengah mendalami alur proses penerbitan SKL kepada salah satu obligor dalam penyidikan kasus BLBI itu.

KPK pada Senin (23/10) lalu juga telah memeriksa Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai tersangka.

Menurut Febri dalam pemeriksaan itu, penyidik mengkonfirmasi terkait tugas dan kewenangan Syafruddin Arsyad Temenggung saat menjadi Kepala BPPN.

"Kami juga membandingkan BPPN dalam kepemimpinan tersangka dan BPPN dalam kepemimpinan sebelumnya. Itu kami uraikan satu persatu, yang kedua kami dalami dalam kasus ini karena diduga masih ada kewajiban obligor tetapi SKL masih dikeluarkan, itu kami klarifikasi," tuturnya.

Sebelumnya, berdasarkan audit investigatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI kerugian keuangan negara kasus indikasi korupsi terkait penerbitan SKL terhadap BDNI sebesar Rp4,58 triliun.

KPK telah menerima hasil Audit investigatif itu tertanggal 25 Agustus 2017 yang dilakukan BPK terkait perhitungan kerugian negara dalam perkara tindak pidana korupsi pemberian SKL kepada pemegang saham pengendali BDNI tahun 2004 sehubungan dengan pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN.

"Dari laporan tersebut nilai kerugian keuangan negara sebesar Rp4,58 triliun dari total kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN sebesar Rp4,8 triliun," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Senin (9/10).

Menurut Febri, dari hasil audit investigatif BPK itu disimpulkan adanya indikasi penyimpangan dalam pemberian SKL pada BDNI, yaitu SKL tetap diberikan walaupun belum menyelesaikan kewajiban atas secara keseluruhan.

"Nilai Rp4,8 triliun itu terdiri dari Rp1,1 triliun yang dinilai "suistanable" dan ditagihkan kepada petani tambak. Sedangkan Rp3,7 triliun tidak dilakukan pembahasan dalam proses restukturisasi yang menjadi kewajiban obligor yang belum ditagihkan," kata Febri.

Menurut dia, sebelumnya berdasarkan perhitungan BPK hanya Rp220 miliar yang kemudian benar-benar tidak menjadi bagian dari indikasi kerugian keuangan negara tersebut.

"Sehingga dari total Rp4,8 triliun, indikasi kerugian keuangan negaranya adalah Rp4,58 triliun. Jadi, ini satu langkah yang penting saya kira dalam penanganan kasus indikasi korupsi BLBI ini, audit kerugian keuangan negara sudah selesai dan proses pemeriksaan saksi-saksi akan kami lakukan lebih intensif ke depan," ujarnya.

Dalam kasus itu, KPK telah menetapkan mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian SKL kepada Sjamsul Nursalim.

SKL diterbitkan berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002 tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitor yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitor yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan pemeriksaan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS).

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2017