Oleh A. Jafar M. Sidik Jakarta (ANTARA News) - Untuk pertama kali dalam 42 tahun kiprahnya mengampanyekan perlindungan situs-situs peradaban, World Monuments Fund (WMF) memasukkan pemanasan global sebagai faktor perusak kelestarian monumen karya budaya umat manusia. Sebelumnya, lembaga nirlaba yang berhasil membantu merehabilitasi ratusan bangunan berarsitek kuno dan situs-situs budaya seantero jagat ini hanya memasukkan konflik politik, pembangunan ekonomi dan pengembangan industri termasuk pariwisata sebagai ancaman terbesar terhadap keberadaan cagar-cagar budaya di seluruh dunia. Setiap dua tahun, WMF merilis bangunan-bangunan sejarah yang sedang terancam keberadaannya. Tahun ini, pada 6 Juni, mereka mengumumkan bahwa 100 bangunan sejarah hasil peradaban manusia di berbagai belahan dunia tengah di ambang kehancuran atau terancam lenyap sama sekali. Kesimpulan ini didasarkan pada hasil studi sebuah panel beranggotakan para pakar arkeologi, arsitekur, seni, dan budaya terhadap pelbagai situs peradaban di seluruh dunia. "Naiknya permukaan air laut, mencairnya gunung es, dan bertambah luasnya gurun pasir telah menempatkan monumen-monumen peradaban manusia di seluruh dunia berada dalam bahaya," kata Presiden WMF Bonnie Burnham (Science Dailly, 11/6). Menurut WMF, situs-situs kuno perlambang kemajuan peradaban manusia yang terancam rusak atau musnah oleh pemanasan global diantaranya adalah Pulau Herschel di Kanada. Pulau Herschel adalah tempat nenek moyang bangsa Inuit atau Eskimo bermuasal dan daerah di mana satu kota penangkapan ikan paus bersejarah berada. Pulau ini terancam tenggelam karena terus melelehnya gunung es dan naiknya permukaan air laut. Di Mauritania, Afrika, sebuah mesjid kuno di kota suci Chinguetti, terancam terkubur pasir menyusul terus merangseknya areal gurun pasir sehingga menutup komplek pemukiman penduduk. Kota kuno Sonargoan-Panam di Bangladesh yang menjadi tempat perlintasan kebudayaan di abad pertengahan juga terancam musnah karena banjir terus-terusan akibat suhu Planet Bumi yang kian memanas. Hampir sama dengan Sonargoan-Panam, komplek bangunan bersejarah di kota tua Leh di kaki pegunungan Himalaya, Ladakh, India juga terancam hancur karena gerusan air hujan yang dari tahun ke tahun makin deras. Di Amerika Serikat, sudut-sudut eksotis bergaya masa kolonial Perancis di Kota New Orleans terancam tenggelam oleh hantaman badai dan melubernya air laut di atas permukaan daratan. Dua tahun lalu, New Orleans luluh lantak diterjang Badai Katrina. Dampak buruk pemanasan global terhadap kelestarian situs budaya memang masih kurang besar ketimbang konflik politik dan perang yang dianggap paling merusak. WMF menganalisis, perang tak hanya memusnahkan kehidupan, namun juga membuat komplek-komplek budaya menjadi sasaran vandalisme dan penjarahan. Peranglah yang menyebabkan seluruh situs sejarah dan peradaban manusia di Irak dalam kondisi kritis, padahal Irak yang di jaman purbakala disebut Mesopotamia adalah salah satu pusat peradaban manusia. Di Afghanistan, nasib reruntuhan dua patung Budha raksasa di Bamiyyan yang dulu ditumbangkan Taliban berada di ujung tanduk karena para konservator budaya tak bisa maksimal menyelamatkannya akibat perang yang tak kunjung reda di negeri tandus itu. Nasib serupa menimpa Gereja Kudus Nativity di Betlehem yang terancam rusak karena tak mampu berlindung dari dampak konflik politik Palestina-Israel yang abadi itu. Sengketa politik juga menyebabkan Kota Dinding Farmagusta di Siprus berada dalam bahaya. Farmagusta masyur diantaranya karena disebut-sebut dalam drama Othello karya sastrawan William Shakespeare. Selain pemanasan global dan konflik politik, faktor perusak situs bersejarah lainnya adalah pembangunan ekonomi dan kepariwisataan. Di sini, manusia menjadi pelaku aktif dalam penggerogotan bangunan-bangunan bersejarah. Aktivitas industri telah meninggalkan residu-residu adiktif berupa polusi yang menghancurkan banyak situs budaya. Polusi ini telah membuat keropos bebatuan yang menjadi komponen utama semua bangunan bersejarah, sedangkan pengembangan industri turisme telah merusak wajah asli monumen peradaban manusia yang kadang berakhir ke kepunahan. Di Pakistan misalnya, sekitar 35 ribu lukisan gua masa prasejarah di wilayah Sungai Indus terancam karam ditelan lautan air hasil pembendungan dam raksasa dekat komplek purba itu. Bukit Tara di Irlandia yang adalah situs kuno yang dikeramatkan juga terancam rusak gara-gara pembangunan jalan tol yang menghubungkan daerah-daerah terpencil Irlandia ke ibukota Dublin. Sementara itu, di Peru ada situs pemujaan Machu Picchu peninggalan suku Indian Kuno menjadi korban popularitasnya sendiri. Kebijakan kepariwisataan yang tak terkendali membuat situs kuno ini terancam rusak berat. WMF pantas prihatin dengan kondisi buruk di 100 monumen peradaban dunia itu, tapi keprihatinan mereka mestinya menjadi kekhawatiran semua bangsa, termasuk Indonesia di mana beberapa cagar budayanya juga terancam rusak, hilang dan musnahnya oleh mengganasnya alam. Gempa dahsyat di Jogjakarta di waktu silam misalnya, telah merusak komplek candi Prambanan dan beberapa komplek candi lainnya serta kawasan bersejarah lainnya seperti Kota Gede. Perang dan aktivitas pembangunan mungkin bisa dikendalikan, tetapi pemanasan global sungguh membuat manusia mesti berbuat lebih keras lagi, apalagi kondisi iklim cenderung terus memburuk tanpa jeda. Meski begitu, tak seorang pun yang mampu mencegah atau menekan dampaknya sebaik yang bisa dilakukan manusia. "Manusia itu pengrusak, namun manusia pula yang memiliki kekuatan untuk mengubah keadaan menjadi lebih baik," kata Bonnie. Syaratnya, sikap manusia dalam memperlakukan alam mesti berubah sehingga situs-situs kuno buah peradaban manusia dan penjejak muasal identitas manusia tetap lestari. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007