Bogor (ANTARA News) - Prof Sri Purwaningsih MSi, Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor berhasil menggali potensi hasil perairan cukup prospektif untuk dikembangkan salah satunya Cacing Laut Siphonosoma australe-australe yang memiliki khasiat sebagai antidiabet alami.

Dalam orasi ilmiah guru besar IPB di kampus Dramaga, Prof Sri mengungkapkan cacing laut ini kebanyakan di perairan Indonesia bagian tengah, seperti Kendari, Tual Dua dan Lombok, masyarakat memanfaatkannya hanya untuk dijual sebagai bahan pangan, dengan harga murah Rp2.500 sampai Rp5.000 per kantong.

"Cacing laut ini belum banyak pemanfaatnya, masyarakat hanya menjualnya seperti jualan ikan asin di pasar-pasar dengan harga murah," kata Sri.

Dari hasil penelitian yang dilakukan selama empat tahun, Prof Sri berhasil menemukan keutamaan cacing laut, ekstraknya dapat digunakan sebagai obat antidiabet alami.

Bahkan di China Selatan, cacing laut telah lama digunakan sebagai obat tradisional dalam mengobati penyakit tuberkulosis, pengaturan fungsi lambung dan limpa, serta pemulihan kesehatan yang disebabkan oleh patogen.

Hasil penelitian yang dilakukan Prof Sri menunjukkan bahwa ekstrak Siphonosoma australe memiliki potensi sebagai antidiabetes yang diperoleh melalui uji in vitro yang dapat menghambat aktivitas enzim alpha glukosidae sebesar 16-24 ppm (sangat kuat).

Sedangkan hasil pengujian secara in vivo pada hewan model mampu menurunkan kadar glukosa darah dengan konsentrasi terbaik 45 mg/kg berat badan. Hal ini diduga berkaitan dengan adanya kandungan flavonoid dan saponim pada ekstrak Siphonosoma australe.

"Senyawa flavonoid mempunyai mekanisme seperti obat antihiperglikemik oral golongan sulfonilurea dalam menurunkan kadar glukosa darah pada tikus dengan cara meningkatkan sekresi insulin," katanya.

Hasil penelitiannya juga menunjukkan bahwa karakteristik dari kapsul antidiabet ekstrak etanol dari cacing laut Siphonosoma australe secara parameter fisik, kimia, mikroba, dan logam berat adalah sesuai dengan BPOM nomor 12 Tahun 2014 terkait persyaratan mutu obat tradisional.

"Hasil uji toksisitas akut menunjukkan tidak toksit, toksisitas preklinik selama 27 hari menunjukkan kadar SGOT dan SGPT mendekati normal dan hewan model tetap hidup," katanya.

Menurut Prof Sri, cacing laut potensial untuk dikembangkan, target pasarnya cacing laut tidak dijual murah lagi. Jika obat antidiabet sulit diproduksi, maka marketnya bisa dikhususnya untuk memperbaiki sel beta pangkreas bagi masyarakat sekitar.

Penelitian tentang cacing laut untuk obat antidiabet sudah dalam proses pengajuan paten. Sri juga melibatkan mahasiswanya untuk mengawal keberadaan cacing laut di tempat asalnya masing-masing, agar dapat diproduksi.

Ia mengatakan tantangan untuk memproduksi ekstrak cacing laut sebagai antidiabet karena belum ada yang mau membudidayakannya. Kebanyakan warga sekitar menangkap di alam, dijual untuk dikonsumsi, rasanya kenyal seperti kikil dan kresek kalau dimakan.

"Kandungan aktif cacing laut akan hilang kalau dimasak, lebih tinggi kalau dijadikan ekstrak," katanya.

Melalui hasil penelitiannya Prof Sri mendorong agar masyarakat dapat memanfaatkan cacing laut sebagai mata pencaharian lewat budi daya. Dan industri mau melirik untuk memproduksi ekstrak cacing laut dengan sistim maklom.

Jika masyarakat digerakkan untuk budidaya, dan industri bergerak memproduksi. Masyarakat akan mendapat manfaat lebih besar sekedar hanya menjual lepas begitu saja di pasar tradisional.

"Cacing laut inipun bisa dikembangkan oleh mahasiswa era millenia untuk dipasarkan dengan kemasan menarik dengan cara start up," kata Sri.

Pewarta: Laily Rahmawati
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2017